PENCARIAN JURNAL LINGKUNGAN dan SANITASI

Custom Search

PORTAL SANITASI INDONESIA

Lijit Ad Tag

SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (STBM) Indonesia

Minggu, 05 Februari 2012

KLHS: KAJIAN KLHS SEBAGAI SOLUSI DAYA DUKUNG WILAYAH

Pemanfaatan Kajian Lingkungan Hidup Stratejik (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA) sebagai instrumen pendukung untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan makin penting mempertimbangkan bahwa degradasi Lingkungan Hidup (LH) umumnya bersifat kausalitas lintas wilayah dan antar sektor.

Kemerosotan kualitas LH tersebut tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan parsial. la memerlukan instrumen pengelolaan LH yang memungkinkan penyelesaian masalah yang bersifat berjenjang (dari pusat ke daerah), lintas wilayah, antar sektor/lembaga, dan sekuensial sifatnya. Selain pentingnya instrumen pendekatan komprehensif tersebut di atas, hal penting lain yang harus difahami adalah bahwa degradasi kualitas LH terkait erat dengan masalah perumusan kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan yang tidak ramah lingkungan.

Dengan kata lain, sumber masalah degradasi kualitas LH berawal dari proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan degradasi kualitas LH harus dimulai dari proses pengambilan keputusan pembangunan pula. Sebagai suatu instrumen pengelolaan LH, implementasi KLHS adalah pada proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan (decision-making cycle process), dalam hal ini implementasi difokuskan pada perencanaan tata ruang.

Salah satu contoh kajian yang dimaksudkan untuk membahas, memberi tanggapan dan memberi masukan perbaikan untuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau Jawa dan Bali dengan menggunakan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau tepatnya adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis bagi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pulau Jawa dan Bali. Ringkasan kajiannya dapat dilihat dalam paparan di bawah ini.

KLHS terhadap Daya Dukung pulau Jawa

Pulau Jawa yang luasnya hanya 6% dari seluruh luas daratan nusantara, mempunyai daya tarik tinggi ditinjau dari segi sosial, ekonomi, geopolitik dan sumberdaya alam (khususnya kesuburan tanah). Memasuki awal abad 20, Pulau Jawa menduduki posisi yang semakin penting dalam percaturan sosial dan ekonomi Indonesia, karena: (a) merupakan lokasi pusat pemerintahan; (b) ditempati oleh sebagian besar penduduk Indonesia; dan (c) kontribusinya yang besar dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS tahun 2008, sekitar 133 juta jiwa atau 58% dari total seluruh penduduk Indonesia bermukim di P. Jawa. Sehingga tidak heran bila kontribusi P. Jawa terhadap perekonomian nasional juga sangat menonjol dibandingkan dengan pulau-pulau lain, yaitu sekitar 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (BPS 2007).

Namun kecepatan pembangunan, serta tingginya populasi penduduk P. Jawa yang tidak diimbangi dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang konsisten, dan pengendalian kerusakan lingkungan yang kuat telah mengakibatkan meningkatnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan dengan kerugian yang cenderung terns meningkat, baik berupa korban jiwa maupun korban material. Di Jakarta banjir bahkan sudah menjadi ancaman rutin setiap tahun dan hampir tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegahnya sehingga lokasi pengungsian yang semula bersifat sementara cenderung menjadi permanen.

Banjir dan longsor yang berulang-ulang ini bahkan telah merusak sendi-sendi perekonomian. Sebagai gambaran, banjir yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2002 telah mengakibatkan kerugian sebesar 7 trilyun rupiah. Lebih jauh lagi, seluruh teknis perhitungan banjir dari berbagai prasarana pengendali yang telah dibangun menjadi perlu dikaji ulang kembali (yang dapat membawa implikasi berubahnya konstruksi bangunan prasarana pengendali). Sebab selama ini perhitungan banjir didasarkan pada catatan aliran banjir 30-40 tahun yang lalu di mana kondisi lingkungan masih relatif baik. Debit banjir 5 tahunan pada 30 tahun yang lalu kini mungkin sama besarnya dengan debit banjir dengan periode ulang 2 atau 3 tahunan.

Di sisi lain, bencana kekeringan juga menjadi satu fenomena yang semakin sering terjadi. Dibandingkan dengan bencana lainnya, bencana kekeringan sering kurang direspon dini karena prosesnya berlangsung perlahan dan dampaknya tidak sedramatis seperti banjir atau gempa bumi. Sehingga upaya untuk mengatasinya sejak awal sering tidak dilakukan, dan baru disadari setelah bencana kekeringan sudah memasuki tahapan yang gawat dan berdampak sangat besar terhadap perekonomian akibat kegagalan panen ratusan bahkan ribuan hektar daerah pertanian.

Seluruh situasi ini menunjukkan betapa frekuensi dan intensitas bencana di P. Jawa semakin meningkat tajam dibanding awal abad ke 20. Daya dukung ekologi P. Jawa – yang merupakan resultants dari kondisi lingkungan hidup P. Jawa, adaptasi institusi, teknologi, dan populasi penduduk – sudah terlampaui.

Penyebab terjadinya hal tersebut antara lain adalah, pertama, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten dan Kota se Pulau Jawa satu sama lain tidak saling terintegrasi. Masing-masing wilayah membuat dan menetapkan RTRW sebagai suatu entitas yang saling terpisah atau independen. Kedua, penataan ruang saat ini, khususnya perencanaan ruang, cenderung memberi ruang gerak yang lebih besar pada kepentingan ekonomi ketimbang pada aspek keberlanjutan (sustainability). Ketiga, penataan ruang saat ini masih banyak berupa planning paper ketimbang sebagai planning management. Perencanaan ruang wilayah provinsi, kabupaten, dan kota masih sebatas di atas kertas ketimbang dilaksanakan di lapangan.

Saat ini terdapat dua kebijakan untuk merespon persoalan tersebut. Pertama, kewajiban untuk menyusun Tata Ruang Pulau/Kepulauan sebagai rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Pasal 14 UU No 26 Tahun 2007). Kedua, kewajiban untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah beserta rencana rincinya (Pasal 15).

Rekomendasi RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali

Kebijakan struktur dan pola ruang RTR Pulau Jawa-Bali harus memberi perhatian yang seimbang pada kepentingan non-ekonomi yakni kepentingan social dan kepentingan lingkungan hidup. Kebijakan yang tertuang dalam Pasal 6 RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali masih bias pada kepentingan ekonomi. Kebijakan yang masih bias ekonomi ini berdampak luas pada daya dukung lingkungan Pulau Jawa yang sejak dekade terakhir ini sudah terlampaui.

Hasil simulasi terhadap penutupan hutan atau deforestasi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa bila RTR Pulau Jawa-Bali diterapkan, maka jumlah DAS yang mengalami deforestasi akan meningkat sebesar 30 persen dibanding bila tanpa intervensi RTR Pulau Jawa-Bali. Tanga kebijakan RTR Pulau Jawa-Bali, diperkirakan di Pulau Jawa pada tahun 2015, 2020, dan 2025 akan terdapat berturut-turut 62, 47 dan 46 DAS yang mengalami deforestasi. Namun dengan hadirnya kebijakan RTR Pulau Jawa, maka jumlah DAS yang mengalami deforestasi pada tahun 2015, 2020, dan 2025 mendatang akan meningkat menjadi berturut-turut 120, 123, dan 126 DAS. Suatu peningkatan intensitas kerusakan alam yang signifikan akibat hadirnya suatu kebijakan tata ruang yang lebih berorientasi ekonomi. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali justru lebih memicu penurunan daya dukung lingkungan Pulau Jawa.

Pemicu semakin terpuruknya daya dukung lingkungan Pulau Jawa di masa mendatang adalah karena strategi operasionalisasi perwujudan struktur ruang nasional di Pulau Jawa akan ditekankan pada pengembangan jaringan jalan bebas hambatan, pengembangan jaringan jalan Lintas Selatan Pulau Jawa, serta pengembangan jaringan jalan pengumpan yang meningkatkan keterkaitan antara kawasan di Pantai Selatan dengan kawasan atau perkotaan di Bagian Tengah dan Pantai Utara Pulau Jawa (Pasal 9 dan Pasal 10 RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali).

Mengingat pengembangan atau pembangunan jaringan jalan ini merupakan pemicu utama perubahan pemanfaatan ruang, urban sprawl, dan alih fungsi lahan; maka kebijakan pengembangan sistem transportasi ini harus dikaji ulang secara menyeluruh. Atau dengan kata lain beberapa kebijakan yang tertuang dalam Pasal 9 dan 10 RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali harus direvisi guna menghindari perluasan kerusakan lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan Pulau Jawa.

Mengingat pada tahun 2025 mendatang akan ada sekitar 46 DAS di Jawa yang mengalami deforestasi dan diduga akan meningkat menjadi 126 DAS bila ada kebijakan RTR Pulau Jawa-Bali; maka menjadi penting di dalam RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali dimuat nama-nama Kabupaten/Kota dan DAS yang prioritas untuk dikendalikan tingkat deforestasinya sejak dini tahun 2010.

Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa deforestasi atau perubahan penutupan hutan dengan intensitas tinggi berlangsung di areal penggunaan lain (APL) seperti untuk perkebunan dan tambang, di areal hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT) yang dikelola oleh Perum Perhutani, di kawasan hutan lindung (HL) yang dikelola oleh Pemda, serta di kawasan hutan konservasi (HK) yang dikelola oleh Departemen Kehutanan.

Sementara di dalam RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali perhatian justru dicurahkan pada kawasan hutan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa) dan kawasan hutan lindung. Deforestasi yang berlangsung di Areal Penggunaan Lain (APL), Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) justru luput dari perhatian.

Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup RI

Persetujuan atau Ketidaksetujuan Rakyat atas Penetapan Wilayah Pertambangan Mendesak Untuk Dikonkritkan Lewat Putusan Mahkamah Konstitusi

Persetujuan atau Ketidaksetujuan Rakyat atas Penetapan Wilayah Pertambangan Mendesak Untuk Dikonkritkan Lewat Putusan Mahkamah Konstitusi

Jakarta (30 Januari 2012) Penembakan mati terhadap rakyat yang menolak tambang di Bima (24 Desember 2011) dan balasan rakyat membakar kantor Bupati Bima tidak akan terjadi bila penetapan wilayah pertambangan sebelumnya mendapatkan persetujuan atau ketidak-persetujuan rakyat dalam menetapkan wilayah pertambangan.

Persetujuan atau ketidak-persetujuan rakyat dalam penetapan wilayah pertambangan adalah wajib, telah tertulis dalam UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU MINERBA). Pasal 10 UU MINERBA, butir (a) dan (b): menyatakan:Penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan:

a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;

b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan;

Ketentuan ini telah diabaikan oleh pemerintah, mulai dari Kabupaten hingga Kementerian ESDM. Karena, dalam pantauan WALHI, semua izin pertambangan yang dinyatakan clean and clear oleh Kementerian ESDM tidak diawali dengan mekanisme menanyakan persetujuan atau ketidakpersetujuan rakyat yang terdampak negatif.

Proses sidang uji materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara telah selesai pada 16 Maret 2011 dengan diserahkannya kesimpulan persidangan oleh WALHI sebagai pemohon kepada Mahkamah Konstitusi. Namun hingga hari ini belum ada keputusan. Sementara konflik tambang antara rakyat dan perusahaan terus berlangsung, bahkan hingga menimbulkan korban jiwa. Disamping Bima, terdapat 21 titik konflik (hot spot) tambang vs rakyat yang sedang berlangsung pada Juanuari 2012.

Karenanya WALHI bersama dengan Tim Advokasi Hak atas Lingkungan Hidup mensomir Mahkamah Konsitusi agar segera mengeluarkan keputusan no perkara 32/PUU-VII/2010 yang didaftarkan pada 22 April 2010. Bila dalam waktu satubulan sejak somasi terbuka ini disampaikan (30 Januari 2012) maka kami akan mengajukan gugatan terhadap Mahkamah Konstitusi.

Sumber : Siaran Pers dan Somasi Terbuka, WALHI dan Tim Advokasi Hak atas Lingkungan

Selasa, 23 Desember 2008

Global Warming's Ecosystem Double Whammy

Plants and soils act like sponges for atmospheric carbon dioxide, but new research finds that one abnormally warm year can suppress the amount of carbon dioxide taken up by some grassland ecosystems for up to two years. The findings, which followed an unprecedented four-year study of sealed, 12-ton containerized grassland plots at DRI is the cover story in this week's issue (September 18) of the journal Nature.

"This is the first study to quantitatively track the response in carbon dioxide uptake and loss in entire ecosystems during anomalously warm years," said lead author Jay Arnone, research professor in the Division of Earth and Ecosystem sciences at DRI. "The 'lagged' responses that carry over for more than one year are a dramatic reminder of the fragility of ecosystems that are key players in global carbon sequestration."

The plants and soils in ecosystems help modulate the amount of carbon dioxide (CO2) in the atmosphere. Plants need CO2 to survive, and they absorb most CO2 during spring and summer growing seasons, storing the carbon in their leaves, stems and roots. This stored carbon returns to the soil when plants die, and it is released back into the atmosphere when soil bacteria feed on the dead plants and release CO2.

The four-year DRI study involved native Oklahoma tall grass prairie ecosystems that were sealed inside four, living-room-sized environment chambers. The dozen 12-ton, six-foot-deep plots were extracted intact from the University of Oklahoma's prairie research facility near Norman, Okla., in order to minimize the disturbance of plants and soil bacteria. Inside the DRI's sunlit-controlled EcoCELL chambers, scientists replicated the daily and seasonal changes in temperature, and rainfall that occur in the wild.

In the second year of the study, half of the plots were subjected to temperatures typical of a normal year, and the other half were subjected to abnormally warm temperatures -- on the order of those predicted to occur later this century by the Intergovernmental Panel on Climate Change. In the third year of the study, temperatures around the warmed plots were turned down again to match temperatures in the control plots. The CO2 flux -- the amount of carbon dioxide moving between the atmosphere and biosphere -- was tracked in each chamber for all four years of the study.

DRI's EcoCELL facility gave the scientists an unprecedented degree of control over the enclosed ecosystems. Not only could they create the same air temperature conditions from year-to-year, they could also independently control the soil temperature in each chamber -- a key feature that enhanced the ecological relevance of the results. Each containerized ecosystem also sat on "load cells," the type of scales used to weigh trucks on highways. Scientists used the scales to track the amount of water that was taken up and lost by the plants and soil in both normal and abnormal years. Thus, each containerized ecosystem served as a weighing lysimeter, an instrument that's used to measure the water and nutrients that percolate through soils.

The scientists found that ecosystems exposed to an anomalously warm year had a net reduction in CO2 uptake for at least two years. These ecosystems trapped and held about one-third the amount of carbon in those years than did the plots exposed to normal temperatures.

"Large reductions in net CO2 uptake in the warm year were caused mainly by decreased plant productivity resulting from drought, while the lack of complete recovery the following year was caused by a lagged stimulation of CO2 release by soil microorganisms in response to soil moisture conditions," explained co-author Paul Verburg, also from DRI.

Numerous studies have found that the Earth's atmospheric CO2 levels have risen by about one-third since the dawn of the Industrial Age. CO2 helps trap heat in the atmosphere, and political and economic leaders the world over are debating policy and economic reforms to reduce the billions of tons of CO2 that burned fossil fuels are adding to the atmosphere each year.

"Our findings confirm that ecosystems respond to climate change in a much more complex way than one might expect based solely on traditional experiments and observations," said study co-author James Coleman, vice provost for research and professor of ecology and evolutionary biology at Rice University. "Our results provide new information for those who are formulating science-based carbon policies."

The large collaborative study involved scientists from the DRI; University of Nevada, Reno; University of Oklahoma in Norman, Okla.; University of New Hampshire; the National Center for Atmospheric Research in Boulder, Colo., and Rice University in Houston, Texas. The study was funded by the U.S. National Science Foundation's Division of Environmental Biology under the program, "Integrated Research Challenges in Environmental Biology" (Grant Number: DEB0078325).

Resource : http://www.woc2009.org

Membangun Bangsa Menuju Masyarakat Madani: Orasi Prof. Widagdo

BANDUNG, itb.ac.id - Sabtu (20/12), Majelis Guru Besar ITB mengadakan orasi guru besar emeritus yang bertajuk "Membangun Bangsa Menuju Masyarakat Madani, Telaah satu setengah milenium sejarah Budaya Bangsa Indonesia". Orasi ini dilaksanakan di Balai Pertemuan Ilmiah ITB dan disampaikan oleh Prof. Widagdo.

Pada awal orasinya, Prof. Widagdo berbicara tentang budaya. Berbicara tentang "budaya" berarti memasuki dunia yang sangat kompleks, dunia yang sangat luas tanpa tepi dan penuh dengan ketidakpastian. Karena budaya adalah sebagian dari hidup itu sendiri. Beliau mengatakan bahwa budaya adalah "raison d'etre" (arti) dari kehadiran manusia di bumi ini. Beliau merangkum wujud kebudayaan sebagai tiga gejala pokok yang membentuk budaya, yaitu ide (norma, aturan, nilai, adat istiadat, dll), aktifitas (tindakan masyarakat budaya tertentu yang memiliki pola repetitif tertentu) dan artifak (benda/hasil materi budaya yang masih terlacak, seperti tulisan, prasasti, arsitektur, dll)

Di bagian berikutnya, peraih Satyalencana Karya Satya 1997 dan Satyalencana Pembangunan 2000 ini membahas tentang kebudayaan maju dan konsep kemajuan budaya itu sendiri. Yang dimaksud kebudayaan maju adalah tumbuhnya kesadaran sosial kolektif akan perlunya mengubah berbagai sistem kehidupan yang menuju pada kemjuan, menuju perubahan ke arah yang lebih baik, lebih meringankan hidup, dst. Salah satu kebudayaan maju yang dibicarakan di sini adalah kebudayaan Barat. Evolusi kebudayaan Barat menuju kebudayaan maju terjadi karena struktur sosial ekonomi yang berubah, kemajuan teknologi, kelahiran individua yang kreatif dan dapat menggerakan berbagai bidang, dan standarisasi dalam banyak hal.

Pada akhirnya, Prof. Widagdo menyimpulkan bahwa peran budaya sangat penting dalam menentukan arah perjalanan sejarah, dan keinginan subjektif untuk maju adalah syarat dasarnya. Sebuah negara akan maju atau tenggelam akhirnya tergantung dari bangsa itu sendiri dan bukan karena pengaruh luar. Terdapat pula peran yang dapat dilakukan ITB untuk mengembangkan budaya Indonesia. ITB dapat memulai dengan meningkatkan konvergensi akademis antar cabang-cabang ilmu yang dikuasai, membuat program cross-fakultas, cross-program studi, dan menggalakan studi multi disiplin yang dapat menjawab tantangan nyata di masyarakat.

Kalimat penutup orasi ini, tanpa sedikitpun ingin bersikap sinis, Prof. Widagdo menyerukan: "Bersama kita bisa!!!".

Sumber : www.itb.ac.id

Institut Pertanian Bogor (IPB) Gelar Temu Konsultasi Publik Dan Jaring Aspirasi Rancangan Undang-Undang Tentang Kepemudaan

Rancangan Undang-Undang (RUU) ini bertujuan mengatur kebijakan nasional dibidang kepemudaan secara komprehensif, konsisten, sistemik dan mampu memberikan kepastian hukum dan pemenuhan hak asasi manusia pemuda.

Demikian disampaikan Staf Khusus Bidang Kebijakan dan Pengawasan Kementrian Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia Budi Dharmawan dalam Temu Konsultasi Publik dan Jaring Aspirasi Rancangan Undang-Undang Tentang Kepemudaan, Senin (22/12) di Institut Pertanian Bogor (IPB) International Convention Center, Bogor. Kegiatan ini diselenggarakan IPB bekerjasama dengan Kementrian Negara Pemuda dan Olah Raga RI.

Acara ini dibuka Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S dan laporan Ketua Panitia yang juga merupakan Direktur Kemahasiswaan IPB Dr. Rimbawan.

Mewakili Tim Perumus, Dr.Titik Sumarti didampingi Dr. Rimbawan dan elemen kepemudaan lain membacakan hasil rumusan peserta temu publik ini menyampaikan, meskipun dalam uji publik ini ada pihak yang menilai perlu atau tidaknya adanya rancangan undang-undang tentang kepemudaan, namun secara umum para pembahas menilai positif keberadaan rancangan undang-undang kepemudaan.

Anggota Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Sukmaya mengatakan, pemerintah terkesan membatasi ruang gerak kegiatan kepemudaan dan ikut campur terlalu jauh dalam mengatur organisasi kepemudaan. Pembahas merasa prihatin melihat pemuda yang kurang produktif dalam perubahan sosial. "Para pemuda tidak boleh dikekang, secara substansial ini sebuah kemajuan untuk menyempurnakan RUU ini. Secara umum masih dijumpai pasal-pasal dalam RUU yang perlu penjelasan lebih lanjut," katanya.

"Peserta yang keberatan menduga bahwa RUU ini dapat diberlakukan sebagaimana yang terjadi pada masa lalu," kata Dr. Titik. Sementara itu, sebagian besar pembahas yang setuju menyatakan bahwa RUU ini berfungsi sebagai payung hukum yang memberikan kepastian hukum dalam melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan pemuda. Pemuda sebagai kekuatan bangsa masa depan memiliki kebebasan dalam berkreasi dan aktivitas. Apalagi pemuda berperan penting dalam gerakan riil masyarakat dan pemerintah.

Dr. Titik membacakan hasil rumusan dan rekomendasi dalam RUU tentang Kepemudaan diantaranya:

  1. Masalah definisi batasan usia pemuda yang belum ada landasan justifikasi ilmiah. Peserta sepakat batasan usia pemuda 18 - 35 tahun sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional.
  2. Pemuda masih belum diposisikan sebagai subjek dalam pengembangan kepemudaan.
  3. Perlu adanya komparasi antara RUU tentang Kepemudaan dengan UU no 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan UU lainnya.
  4. Perlu dipertimbangkan penggunaan istilah badan, dinas, dan kantor dalam RUU tentang Kepemudaan.
  5. Undang-Undang tentang Kepemudaan menjadi acuan terhadap perubahan UU lain yang terkait, misalnya, UU Ormas pada bagian beririsan.
  6. Perlu dibuat Peraturan Pemerintah (PP) yang menunjang kepemudaan antara lain: Peraturan Pemerintah tentang Pendanaan Kepemudaan, Peraturan Pemerintah tentang Penghargaan Kepemudaan, Peraturan Pemerintah tentang Kepemimpinan, Peraturan Pemerintah tentang kepeloporan, Peraturan Pemerintah tentang Kewirausahaan. Peraturan Pemerintah yang disusun harus mensikronisasi dengan PP lain yang terkait.
  7. Perlu adanya penyempurnaan dalam beberapa pasal-pasal yang bias maknanya dan kurang relevan dengan kondisi sekarang.
  8. Perlu penjabaran secara jelas jaminan pemenuhan hak-hak pemuda
  9. Perlu adanya penyaluran anspirasi dalam wadah kepemudaan.

Hadir dalam kegiatan ini: pimpinan IPB, pejabat pemkab dan pemkot Bogor, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Bogor, pembantu rektor bidang kemahasiswan se-Bogor, organisasi kepemudaan diantaranya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) kabupaten dan kota Bogor, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bogor, serta perwakilan dinas-dinas yang membawahi kepemudaan di lingkup pemerintahan kabupaten maupun kota Bogor. Dengan jumlah sekitar 100 orang peserta.

Sumber: www.ipb.ac.id

Jumat, 19 Desember 2008

Peran Dewan Air dalam Pengendalian Pencemaran Air

Oleh :

Ir. Muhtadi Arsyad Temenggung, M.Si
(Anggota Dewan Air Kota Bandar Lampung)


Pendahuluan

Pengelolaan Kota (urban management) merupakan upaya mengalokasikan sumber daya yang dimiliki secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat dan menciptakan pembangunan kota yang berkelanjutan. Salah satu sumber daya yang cukup krusial untuk ditangani adalah pengelolaan sumber daya air. Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang acapkali terabaikan dan sering menimbulkan dampak negatif apabila tidak dikelola secara baik. Hal ini tercermin dari seringnya terjadi kekeringan apabila musim kemarau dan terjadi banjir apabila musim penghujan. Tetapi “ bicara “ tentang air tidak lepas dari kualitas lingkungan, karena kelestarian lingkungan merupakan hal penting dalam pengelolaan sumber daya air.
Air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas manusia apabila kegiatan yang dilakukan tidak memperhatikan aspek-aspek ekologis. Pencemaran air dapat merupakan masalah lokal, regional bahkan global apabila pencemaran tersebut mempengaruhi kualitas air secara keseluruhan.

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001, pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Untuk itu, air dapat dikategorikan tercemar jika mengalami hal-hal sebagai berikut :

  • Air mengandung zat, energi dan atau komponen lain yang dapat merubah fungsi air sesuai peruntukkannya, atau disebut parameter pencemaran.
  • Kandungan parameter pencemaran di dalam air telah melampaui batas baku mutu sehingga menimbulkan gangguan terhadap pemanfaatannya.

Berkaitan dengan pencemaran air terdapat tiga penyebab utama tercemarnya lingkungan perairan (Environmental Agency, 1962), yaitu:

  1. Peningkatan konsumsi atau penggunaan air sehubungan dengan peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat, dengan konsekuensi meningkatnya air limbah yang mengandung berbagai senyawa atau materi tertentu.
  2. Terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti dengan peningkatan buangan yang tertampung di lingkungan perairan sehingga daya pemulihan diri perairan tersebut terlampaui. Akibatnya perairan menjadi tercemar dengan tingkat yang semakin berat.
  3. Kurangnya atau rendahnya investasi sosial, ekonomi dan budaya untuk memperbaiki lingkungan perairan, seperti investasi untuk sistem sanitasi, pengolahan limbah dan perlakuan lainnya.

Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas lingkungan yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Kota Bandar Lampung tahun 2005 diketahui bahwa kualitas perairan sungai yang ada di Kota Bandar Lampung kondisinya cukup memprihatinkan. Umumnya sungai-sungai yang mengalir di Kota Bandar Lampung hanya memenuhi mutu air kelas III (untuk budidaya ikan air tawar, peternakan, mengairi tanaman dan kegiatan lain yang mensyaratkan mutu yang sama) dan IV (untuk mengairi tanaman kegiatan lain yang mensyaratkan mutu yang sama). Sumber pencemaran perairan sungai umumnya disebabkan oleh limbah organik yang berasal dari rumah tangga, hotel, restauran, rumah sakit maupun industri.

Melihat berbagai permasalahan sumberdaya air yang dihadapi Kota Bandar Lampung terutama masalah pencemaran, maka sudah saatnya pengelolaan sumberdaya air menjadi perhatian serius berbagai pihak. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pengelolaan Sumber Daya Air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air.

Kondisi Lingkungan Perairan Kota Bandar LampungKota Bandar Lampung yang merupakan Ibukota Propinsi Lampung terletak di bagian ujung Selatan Pulau Sumatera. Secara geografi terletak pada posisi 5O20’ - 5O30’ Lintang Selatan dan 105O28’ - 105O37’ Bujur Timur. Berdasarkan Peraturan Daerah nomor 04 tahun 2001 Kota Bandar Lampung terdiri dari 13 Kecamatan dan 98 Kelurahan dengan luas wilayah 197,22 km2 dan jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak 809.860 jiwa terdiri dari laki-laki 411.220 jiwa dan perempuan 348.640 jiwa.

Secara hidrologi Kota Bandar Lampung mempunyai dua sungai besar (main drain) yaitu Way Kuripan dan Way Kuala dan 23 sungai-sungai kecil, semua sungai yang ada merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada dalam wilayah Kota Bandar Lampung dan sebagian besar bermuara ke Teluk Lampung. Sungai yang mengalir di wilayah Kota Bandar Lampung antara lain: (1) Sungai Way Kuripan, Way Kupang, Way Kunyit dan Way Bakung sebagai zona drainase Tanjungkarang; (2) Sungai Way Kemiling, Way Pemanggilan, Way Langkapura, Way Kedaton, Way Balau, Way Halim, Way Durian Payung; Way Simpur; Way Awi, Way Penengahan dan Way Kedamaian sebagai zona drainase Telukbetung; (3) Sungai Way Lunik Kanan dan Way Lunik Kiri, Way Pidada, Way Galih Panjang dan Srengsem sebagai bagian dari zona drainase Panjang; (4) Sungai Way Kandis 1, Way Kandis 2, Way Kandis 3 merupakan bagian dari zona drainase Kandis.

Daerah hulu sungai berada di wilayah bagian barat, wilayah Kota Bandar Lampung dan daerah hilir sungai berada di wilayah bagian selatan Kota Bandar Lampung yaitu pada dataran pantai yang berada di wilayah Kecamatan Panjang, Telukbetung Selatan dan Telukbetung Barat.
Berdasarkan hasil Studi Penentuan Kelas Sungai yang dilakukan oleh Bapedalda Kota Bandar Lampung tahun 2005 terhadap beberapa sungai yang ada di Kota Bandar Lampung diketahui bahwa kualitas perairan sungai yang ada masuk dalam kategori kelas II, III dan IV. Sedangkan untuk kelas I tidak ada yang memenuhi.

Faktor penyebab rendahnya kualitas perairan sungai tersebut antara lain disebabkan antara lain :

  1. daya tampung, karakteristik sungai di Kota Bandar Lampung yang merupakan sungai kecil dengan debit yang kecil, menyebabkan daya tampung beban pencemarannya juga rendah. Sungai-sungai tersebut sangat rentan terhadap pencemaran air. Sedikit saja polutan masuk ke dalam sungai kemungkinan sudah dapat mengakibatkan pencemaran;
  2. kondisi hulu sungai, exploitasi daerah hulu sungai oleh kegiatan pertambangan, pembangunan perumahan, budidaya tanaman semusim menyebabkan tingkat erosi meningkat dan akhirnya mempertinggi kandungan TSS di sungai;
  3. limbah cair domestik, belum adanya system pembuangan air limbah yang terpisah dari saluran air hujan dan belum adanya IPAL domestik terpadu menyebabkan air limbah domestik/rumah tangga yang jumlahnya besar (70-80% penggunaan air bersih) bercampur dengan air sungai yang debitnya kecil sehingga menyebabkan pencemaran;
  4. limbah cair usaha/kegiatan lain, belum efektifnya pengolahan limbah dari usaha/kegiatan seperti industri, hotel, rumah sakit, restauran juga memberikan konstribusi terhadap pencemaran sungai;
  5. sampah, rendahnya kesadaran masyarakat yang masih menganggap sungai sebagai tempat pembuangan sampah disamping menimbulkan menurunnya estetika juga menyebabkan peningkatan beban pencemaran pada sungai.

Sedangkan kualitas air bersih sumur gali berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Bapedalda Kota Bandar Lampung tahun 2005 dibeberapa lokasi pemukiman diketahui bahwa kualitas mikrobiologi tidak memenuhi persyaratan dengan nilai parameter bakteri Total Coliform melebihi batas maksimum yang dipersayaratkan (batas maksimum yang diperbolehkan sebesar 50 MPN per 100 ml berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 416/Menkes/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Bersih). Adapun lokasi pemantauan kualitas sumur gali yang dilakukan adalah di pemukiman Mesuji (Pahoman), KM Salim (Way Lunik), Sukarno-Hatta (Pidada), Chairil Anwar (Durian Payung), M. Sangaji (Beringin), Sam Ratulangi (Gedong Air), Sukardi Hamdani (Labuhan Ratu), Tirtayasa (Sukabumi), Griya Kencana (Way Halim), Kenanga (Rawa Laut), Turi Raya (Tanjung Senang) dan Kapten Abdul Hak (Rajabasa).

Adapun akibat rendahnya kualitas air bersih sumur gali ini disebabkan oleh karena belum adanya sistem pengolahan air kotor dan sistem resapan air dari septik tank, keterbatasan PDAM dalam menyuplai suplai air bersih menyebabkan kecenderungan pola satu rumah-satu sumur-satu septic tank, keterbatasan luas kavling yang dimiliki (kepadatan rumah) menyebabkan jarak sumur dengan septic tank sangat dekat, sehingga ada kecenderungan sumur gali/air tanah dangkal tercemar bakteri fecal coli.


Wadah Koordinasi Pengelolaan Sumberday Air

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan membentuk wadah koordiansi pengelolaan sumberdaya air. Melalui pertemuan stakeholder sumber daya air pada tanggal 15 Desember 2004 telah di bentuk wadah koordiansi pengelolaan sumberdaya air di Kota Bandar Lampung dengan nama Dewan Air Kota Bandar Lampung dan disyahkan melalui Keputusan Walikota Bandar Lampung Nomor 110/23/HK/2005 tanggal 11 April 2005. Sebagai wadah koordinasi, keanggotaan Dewan Air Kota Bandar Lampung terdiri dari unsur Pemerintah (Dinas/Instansi terkait) dan unsur Non Pemerintah (perwakilan masyarakat dan pengusaha) yang memiliki peran, fungsi dan tanggung jawab yang sama dalam pengelolaan sumber daya air di Kota Bandar Lampung. Sedangkan Perguruan Tinggi, LSM, Organisasi Profesi/Asosiasi bertindak sebagai narasumber.
Tujuan dibentuknya Dewan Air Kota Bandar Lampung adalah untuk menjaga fungsi dan manfaat air serta sumber air yang dilakukan melalui keterpaduan tindak dalam pengelolaannnya dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan (stakeholder) dalam bidang sumber daya air secara berkelanjutan.


Tugas pokok Dewan Air Kota Bandar Lampung

Tugas pokok Dewan Air Kota Bandar Lampung adalah membantu Walikota Bandar Lampung dalam menyusun dan merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air di Kota Bandar Lampung. Sedangkan fungsinya adalah: (1) merumuskan rencana perlindungan, pengembangan, penggunaan pengusahaaan air/sumber air; (2) merumuskan rencana prioritas penggunaan air/sumber air; (3) merumuskan pengaturan penggunaan dan pengusahaan air/sumber air; (4) merumuskan rencana konservasi tanah dan air; (5) merumuskan pengaturan pengendalian banjir dan pencegahan kekeringan; (6) merumuskan pengaturan pengendalian pencemaran dan pengelolaan kualitas air; (7) merumuskan pengaturan/rekomendasi perizinan eksploitasi air tanah; (8) Merumuskan pengaturan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS); (9) pengawasan atas pelaksanaan hasil keputusan Dewan Air dan Peraturan Perundang-undangan tentang sumber daya air.


Peran Dewan Air Dalam Pengendalian Pencemaran Air

Melihat berbagai permasalahan berkaitan dengan pencemaran lingkungan perairan di Kota Bandar Lampung, Dewan Air Kota Bandar Lampung sebagai wadah koordiansi pengelolaan sumberdaya air memegang peranan penting dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Stakeholder pengelolaan sumber daya air yang terdiri dari unsur pemerintah (Dinas/Instansi terkait), dunia usaha (swasta/BUMN/BUMD), kalangan akademisi, organisasi profesi/asosiasi, Lembaga Swadaya Masyarakat, insan pers dan masyarakat umum yang merupakan bagian dari organisasi Dewan Air Kota Bandar Lampung hendaknya memainkan perannya secara sinergi dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air serta mengalokasikan sumber daya yang dimiliki pada obyek yang sama dalam melakukan tindakan nyata konservasi sumber daya air. Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Sumber Daya Air, konservasi sumber daya air merupakan upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa yang akan datang. Konservasi sumber daya air hendaknya dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber daya air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Kegiatan konservasi sumberdaya air dapat dilakukan melalui upaya nyata dengan melakukan Pilot Projek Kali Binaan yang dilakukan oleh secara sinergi dan berkelanjutan oleh stakeholders sumber daya air melalui wadah koordinasi Dewan Air Kota Bandar Lampung. Konsep Kali Binaan dilakukan pada sungai yang masuk kategori tercemar berat (tipe sungai kelas IV) mulai dari hulu sungai hingga hilir dengan fokus kegiatan pada pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana air, sedangkan pengendalian pencemaran air dilakukan dengan cara mencegah masuknya bahan pencenar pada sumber air atau prasarana air.


Penutup
Demikianlah sumbang pemikiran yang dapat disampaikan oleh Dewan Air Kota Bandar Lampung dalam upaya pengendalian lingkungan perairan di Kota Bandar Lampung. Semoga menjadi bahan perenungan bagi kita semua untuk melakukan tindakan nyata dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya air di Kota Bandar Lampung melalui Pilot Projek Kali Binaan.

(e-mail Penulis : ma_temenggung@yahoo.co.id)

U.S. EPA Research

CAMPUS GREEN