PENCARIAN JURNAL LINGKUNGAN dan SANITASI

Custom Search

PORTAL SANITASI INDONESIA

Lijit Ad Tag

SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (STBM) Indonesia

Minggu, 05 Februari 2012

KLHS: KAJIAN KLHS SEBAGAI SOLUSI DAYA DUKUNG WILAYAH

Pemanfaatan Kajian Lingkungan Hidup Stratejik (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA) sebagai instrumen pendukung untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan makin penting mempertimbangkan bahwa degradasi Lingkungan Hidup (LH) umumnya bersifat kausalitas lintas wilayah dan antar sektor.

Kemerosotan kualitas LH tersebut tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan parsial. la memerlukan instrumen pengelolaan LH yang memungkinkan penyelesaian masalah yang bersifat berjenjang (dari pusat ke daerah), lintas wilayah, antar sektor/lembaga, dan sekuensial sifatnya. Selain pentingnya instrumen pendekatan komprehensif tersebut di atas, hal penting lain yang harus difahami adalah bahwa degradasi kualitas LH terkait erat dengan masalah perumusan kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan yang tidak ramah lingkungan.

Dengan kata lain, sumber masalah degradasi kualitas LH berawal dari proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan degradasi kualitas LH harus dimulai dari proses pengambilan keputusan pembangunan pula. Sebagai suatu instrumen pengelolaan LH, implementasi KLHS adalah pada proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan (decision-making cycle process), dalam hal ini implementasi difokuskan pada perencanaan tata ruang.

Salah satu contoh kajian yang dimaksudkan untuk membahas, memberi tanggapan dan memberi masukan perbaikan untuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau Jawa dan Bali dengan menggunakan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau tepatnya adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis bagi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pulau Jawa dan Bali. Ringkasan kajiannya dapat dilihat dalam paparan di bawah ini.

KLHS terhadap Daya Dukung pulau Jawa

Pulau Jawa yang luasnya hanya 6% dari seluruh luas daratan nusantara, mempunyai daya tarik tinggi ditinjau dari segi sosial, ekonomi, geopolitik dan sumberdaya alam (khususnya kesuburan tanah). Memasuki awal abad 20, Pulau Jawa menduduki posisi yang semakin penting dalam percaturan sosial dan ekonomi Indonesia, karena: (a) merupakan lokasi pusat pemerintahan; (b) ditempati oleh sebagian besar penduduk Indonesia; dan (c) kontribusinya yang besar dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS tahun 2008, sekitar 133 juta jiwa atau 58% dari total seluruh penduduk Indonesia bermukim di P. Jawa. Sehingga tidak heran bila kontribusi P. Jawa terhadap perekonomian nasional juga sangat menonjol dibandingkan dengan pulau-pulau lain, yaitu sekitar 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (BPS 2007).

Namun kecepatan pembangunan, serta tingginya populasi penduduk P. Jawa yang tidak diimbangi dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang konsisten, dan pengendalian kerusakan lingkungan yang kuat telah mengakibatkan meningkatnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan dengan kerugian yang cenderung terns meningkat, baik berupa korban jiwa maupun korban material. Di Jakarta banjir bahkan sudah menjadi ancaman rutin setiap tahun dan hampir tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegahnya sehingga lokasi pengungsian yang semula bersifat sementara cenderung menjadi permanen.

Banjir dan longsor yang berulang-ulang ini bahkan telah merusak sendi-sendi perekonomian. Sebagai gambaran, banjir yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2002 telah mengakibatkan kerugian sebesar 7 trilyun rupiah. Lebih jauh lagi, seluruh teknis perhitungan banjir dari berbagai prasarana pengendali yang telah dibangun menjadi perlu dikaji ulang kembali (yang dapat membawa implikasi berubahnya konstruksi bangunan prasarana pengendali). Sebab selama ini perhitungan banjir didasarkan pada catatan aliran banjir 30-40 tahun yang lalu di mana kondisi lingkungan masih relatif baik. Debit banjir 5 tahunan pada 30 tahun yang lalu kini mungkin sama besarnya dengan debit banjir dengan periode ulang 2 atau 3 tahunan.

Di sisi lain, bencana kekeringan juga menjadi satu fenomena yang semakin sering terjadi. Dibandingkan dengan bencana lainnya, bencana kekeringan sering kurang direspon dini karena prosesnya berlangsung perlahan dan dampaknya tidak sedramatis seperti banjir atau gempa bumi. Sehingga upaya untuk mengatasinya sejak awal sering tidak dilakukan, dan baru disadari setelah bencana kekeringan sudah memasuki tahapan yang gawat dan berdampak sangat besar terhadap perekonomian akibat kegagalan panen ratusan bahkan ribuan hektar daerah pertanian.

Seluruh situasi ini menunjukkan betapa frekuensi dan intensitas bencana di P. Jawa semakin meningkat tajam dibanding awal abad ke 20. Daya dukung ekologi P. Jawa – yang merupakan resultants dari kondisi lingkungan hidup P. Jawa, adaptasi institusi, teknologi, dan populasi penduduk – sudah terlampaui.

Penyebab terjadinya hal tersebut antara lain adalah, pertama, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten dan Kota se Pulau Jawa satu sama lain tidak saling terintegrasi. Masing-masing wilayah membuat dan menetapkan RTRW sebagai suatu entitas yang saling terpisah atau independen. Kedua, penataan ruang saat ini, khususnya perencanaan ruang, cenderung memberi ruang gerak yang lebih besar pada kepentingan ekonomi ketimbang pada aspek keberlanjutan (sustainability). Ketiga, penataan ruang saat ini masih banyak berupa planning paper ketimbang sebagai planning management. Perencanaan ruang wilayah provinsi, kabupaten, dan kota masih sebatas di atas kertas ketimbang dilaksanakan di lapangan.

Saat ini terdapat dua kebijakan untuk merespon persoalan tersebut. Pertama, kewajiban untuk menyusun Tata Ruang Pulau/Kepulauan sebagai rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Pasal 14 UU No 26 Tahun 2007). Kedua, kewajiban untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah beserta rencana rincinya (Pasal 15).

Rekomendasi RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali

Kebijakan struktur dan pola ruang RTR Pulau Jawa-Bali harus memberi perhatian yang seimbang pada kepentingan non-ekonomi yakni kepentingan social dan kepentingan lingkungan hidup. Kebijakan yang tertuang dalam Pasal 6 RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali masih bias pada kepentingan ekonomi. Kebijakan yang masih bias ekonomi ini berdampak luas pada daya dukung lingkungan Pulau Jawa yang sejak dekade terakhir ini sudah terlampaui.

Hasil simulasi terhadap penutupan hutan atau deforestasi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa bila RTR Pulau Jawa-Bali diterapkan, maka jumlah DAS yang mengalami deforestasi akan meningkat sebesar 30 persen dibanding bila tanpa intervensi RTR Pulau Jawa-Bali. Tanga kebijakan RTR Pulau Jawa-Bali, diperkirakan di Pulau Jawa pada tahun 2015, 2020, dan 2025 akan terdapat berturut-turut 62, 47 dan 46 DAS yang mengalami deforestasi. Namun dengan hadirnya kebijakan RTR Pulau Jawa, maka jumlah DAS yang mengalami deforestasi pada tahun 2015, 2020, dan 2025 mendatang akan meningkat menjadi berturut-turut 120, 123, dan 126 DAS. Suatu peningkatan intensitas kerusakan alam yang signifikan akibat hadirnya suatu kebijakan tata ruang yang lebih berorientasi ekonomi. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali justru lebih memicu penurunan daya dukung lingkungan Pulau Jawa.

Pemicu semakin terpuruknya daya dukung lingkungan Pulau Jawa di masa mendatang adalah karena strategi operasionalisasi perwujudan struktur ruang nasional di Pulau Jawa akan ditekankan pada pengembangan jaringan jalan bebas hambatan, pengembangan jaringan jalan Lintas Selatan Pulau Jawa, serta pengembangan jaringan jalan pengumpan yang meningkatkan keterkaitan antara kawasan di Pantai Selatan dengan kawasan atau perkotaan di Bagian Tengah dan Pantai Utara Pulau Jawa (Pasal 9 dan Pasal 10 RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali).

Mengingat pengembangan atau pembangunan jaringan jalan ini merupakan pemicu utama perubahan pemanfaatan ruang, urban sprawl, dan alih fungsi lahan; maka kebijakan pengembangan sistem transportasi ini harus dikaji ulang secara menyeluruh. Atau dengan kata lain beberapa kebijakan yang tertuang dalam Pasal 9 dan 10 RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali harus direvisi guna menghindari perluasan kerusakan lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan Pulau Jawa.

Mengingat pada tahun 2025 mendatang akan ada sekitar 46 DAS di Jawa yang mengalami deforestasi dan diduga akan meningkat menjadi 126 DAS bila ada kebijakan RTR Pulau Jawa-Bali; maka menjadi penting di dalam RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali dimuat nama-nama Kabupaten/Kota dan DAS yang prioritas untuk dikendalikan tingkat deforestasinya sejak dini tahun 2010.

Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa deforestasi atau perubahan penutupan hutan dengan intensitas tinggi berlangsung di areal penggunaan lain (APL) seperti untuk perkebunan dan tambang, di areal hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT) yang dikelola oleh Perum Perhutani, di kawasan hutan lindung (HL) yang dikelola oleh Pemda, serta di kawasan hutan konservasi (HK) yang dikelola oleh Departemen Kehutanan.

Sementara di dalam RaperPres RTR Pulau Jawa-Bali perhatian justru dicurahkan pada kawasan hutan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa) dan kawasan hutan lindung. Deforestasi yang berlangsung di Areal Penggunaan Lain (APL), Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) justru luput dari perhatian.

Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup RI

Persetujuan atau Ketidaksetujuan Rakyat atas Penetapan Wilayah Pertambangan Mendesak Untuk Dikonkritkan Lewat Putusan Mahkamah Konstitusi

Persetujuan atau Ketidaksetujuan Rakyat atas Penetapan Wilayah Pertambangan Mendesak Untuk Dikonkritkan Lewat Putusan Mahkamah Konstitusi

Jakarta (30 Januari 2012) Penembakan mati terhadap rakyat yang menolak tambang di Bima (24 Desember 2011) dan balasan rakyat membakar kantor Bupati Bima tidak akan terjadi bila penetapan wilayah pertambangan sebelumnya mendapatkan persetujuan atau ketidak-persetujuan rakyat dalam menetapkan wilayah pertambangan.

Persetujuan atau ketidak-persetujuan rakyat dalam penetapan wilayah pertambangan adalah wajib, telah tertulis dalam UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU MINERBA). Pasal 10 UU MINERBA, butir (a) dan (b): menyatakan:Penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan:

a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;

b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan;

Ketentuan ini telah diabaikan oleh pemerintah, mulai dari Kabupaten hingga Kementerian ESDM. Karena, dalam pantauan WALHI, semua izin pertambangan yang dinyatakan clean and clear oleh Kementerian ESDM tidak diawali dengan mekanisme menanyakan persetujuan atau ketidakpersetujuan rakyat yang terdampak negatif.

Proses sidang uji materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara telah selesai pada 16 Maret 2011 dengan diserahkannya kesimpulan persidangan oleh WALHI sebagai pemohon kepada Mahkamah Konstitusi. Namun hingga hari ini belum ada keputusan. Sementara konflik tambang antara rakyat dan perusahaan terus berlangsung, bahkan hingga menimbulkan korban jiwa. Disamping Bima, terdapat 21 titik konflik (hot spot) tambang vs rakyat yang sedang berlangsung pada Juanuari 2012.

Karenanya WALHI bersama dengan Tim Advokasi Hak atas Lingkungan Hidup mensomir Mahkamah Konsitusi agar segera mengeluarkan keputusan no perkara 32/PUU-VII/2010 yang didaftarkan pada 22 April 2010. Bila dalam waktu satubulan sejak somasi terbuka ini disampaikan (30 Januari 2012) maka kami akan mengajukan gugatan terhadap Mahkamah Konstitusi.

Sumber : Siaran Pers dan Somasi Terbuka, WALHI dan Tim Advokasi Hak atas Lingkungan

U.S. EPA Research

CAMPUS GREEN