PENCARIAN JURNAL LINGKUNGAN dan SANITASI

Custom Search

PORTAL SANITASI INDONESIA

Lijit Ad Tag

SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (STBM) Indonesia

Selasa, 23 Desember 2008

Global Warming's Ecosystem Double Whammy

Plants and soils act like sponges for atmospheric carbon dioxide, but new research finds that one abnormally warm year can suppress the amount of carbon dioxide taken up by some grassland ecosystems for up to two years. The findings, which followed an unprecedented four-year study of sealed, 12-ton containerized grassland plots at DRI is the cover story in this week's issue (September 18) of the journal Nature.

"This is the first study to quantitatively track the response in carbon dioxide uptake and loss in entire ecosystems during anomalously warm years," said lead author Jay Arnone, research professor in the Division of Earth and Ecosystem sciences at DRI. "The 'lagged' responses that carry over for more than one year are a dramatic reminder of the fragility of ecosystems that are key players in global carbon sequestration."

The plants and soils in ecosystems help modulate the amount of carbon dioxide (CO2) in the atmosphere. Plants need CO2 to survive, and they absorb most CO2 during spring and summer growing seasons, storing the carbon in their leaves, stems and roots. This stored carbon returns to the soil when plants die, and it is released back into the atmosphere when soil bacteria feed on the dead plants and release CO2.

The four-year DRI study involved native Oklahoma tall grass prairie ecosystems that were sealed inside four, living-room-sized environment chambers. The dozen 12-ton, six-foot-deep plots were extracted intact from the University of Oklahoma's prairie research facility near Norman, Okla., in order to minimize the disturbance of plants and soil bacteria. Inside the DRI's sunlit-controlled EcoCELL chambers, scientists replicated the daily and seasonal changes in temperature, and rainfall that occur in the wild.

In the second year of the study, half of the plots were subjected to temperatures typical of a normal year, and the other half were subjected to abnormally warm temperatures -- on the order of those predicted to occur later this century by the Intergovernmental Panel on Climate Change. In the third year of the study, temperatures around the warmed plots were turned down again to match temperatures in the control plots. The CO2 flux -- the amount of carbon dioxide moving between the atmosphere and biosphere -- was tracked in each chamber for all four years of the study.

DRI's EcoCELL facility gave the scientists an unprecedented degree of control over the enclosed ecosystems. Not only could they create the same air temperature conditions from year-to-year, they could also independently control the soil temperature in each chamber -- a key feature that enhanced the ecological relevance of the results. Each containerized ecosystem also sat on "load cells," the type of scales used to weigh trucks on highways. Scientists used the scales to track the amount of water that was taken up and lost by the plants and soil in both normal and abnormal years. Thus, each containerized ecosystem served as a weighing lysimeter, an instrument that's used to measure the water and nutrients that percolate through soils.

The scientists found that ecosystems exposed to an anomalously warm year had a net reduction in CO2 uptake for at least two years. These ecosystems trapped and held about one-third the amount of carbon in those years than did the plots exposed to normal temperatures.

"Large reductions in net CO2 uptake in the warm year were caused mainly by decreased plant productivity resulting from drought, while the lack of complete recovery the following year was caused by a lagged stimulation of CO2 release by soil microorganisms in response to soil moisture conditions," explained co-author Paul Verburg, also from DRI.

Numerous studies have found that the Earth's atmospheric CO2 levels have risen by about one-third since the dawn of the Industrial Age. CO2 helps trap heat in the atmosphere, and political and economic leaders the world over are debating policy and economic reforms to reduce the billions of tons of CO2 that burned fossil fuels are adding to the atmosphere each year.

"Our findings confirm that ecosystems respond to climate change in a much more complex way than one might expect based solely on traditional experiments and observations," said study co-author James Coleman, vice provost for research and professor of ecology and evolutionary biology at Rice University. "Our results provide new information for those who are formulating science-based carbon policies."

The large collaborative study involved scientists from the DRI; University of Nevada, Reno; University of Oklahoma in Norman, Okla.; University of New Hampshire; the National Center for Atmospheric Research in Boulder, Colo., and Rice University in Houston, Texas. The study was funded by the U.S. National Science Foundation's Division of Environmental Biology under the program, "Integrated Research Challenges in Environmental Biology" (Grant Number: DEB0078325).

Resource : http://www.woc2009.org

Membangun Bangsa Menuju Masyarakat Madani: Orasi Prof. Widagdo

BANDUNG, itb.ac.id - Sabtu (20/12), Majelis Guru Besar ITB mengadakan orasi guru besar emeritus yang bertajuk "Membangun Bangsa Menuju Masyarakat Madani, Telaah satu setengah milenium sejarah Budaya Bangsa Indonesia". Orasi ini dilaksanakan di Balai Pertemuan Ilmiah ITB dan disampaikan oleh Prof. Widagdo.

Pada awal orasinya, Prof. Widagdo berbicara tentang budaya. Berbicara tentang "budaya" berarti memasuki dunia yang sangat kompleks, dunia yang sangat luas tanpa tepi dan penuh dengan ketidakpastian. Karena budaya adalah sebagian dari hidup itu sendiri. Beliau mengatakan bahwa budaya adalah "raison d'etre" (arti) dari kehadiran manusia di bumi ini. Beliau merangkum wujud kebudayaan sebagai tiga gejala pokok yang membentuk budaya, yaitu ide (norma, aturan, nilai, adat istiadat, dll), aktifitas (tindakan masyarakat budaya tertentu yang memiliki pola repetitif tertentu) dan artifak (benda/hasil materi budaya yang masih terlacak, seperti tulisan, prasasti, arsitektur, dll)

Di bagian berikutnya, peraih Satyalencana Karya Satya 1997 dan Satyalencana Pembangunan 2000 ini membahas tentang kebudayaan maju dan konsep kemajuan budaya itu sendiri. Yang dimaksud kebudayaan maju adalah tumbuhnya kesadaran sosial kolektif akan perlunya mengubah berbagai sistem kehidupan yang menuju pada kemjuan, menuju perubahan ke arah yang lebih baik, lebih meringankan hidup, dst. Salah satu kebudayaan maju yang dibicarakan di sini adalah kebudayaan Barat. Evolusi kebudayaan Barat menuju kebudayaan maju terjadi karena struktur sosial ekonomi yang berubah, kemajuan teknologi, kelahiran individua yang kreatif dan dapat menggerakan berbagai bidang, dan standarisasi dalam banyak hal.

Pada akhirnya, Prof. Widagdo menyimpulkan bahwa peran budaya sangat penting dalam menentukan arah perjalanan sejarah, dan keinginan subjektif untuk maju adalah syarat dasarnya. Sebuah negara akan maju atau tenggelam akhirnya tergantung dari bangsa itu sendiri dan bukan karena pengaruh luar. Terdapat pula peran yang dapat dilakukan ITB untuk mengembangkan budaya Indonesia. ITB dapat memulai dengan meningkatkan konvergensi akademis antar cabang-cabang ilmu yang dikuasai, membuat program cross-fakultas, cross-program studi, dan menggalakan studi multi disiplin yang dapat menjawab tantangan nyata di masyarakat.

Kalimat penutup orasi ini, tanpa sedikitpun ingin bersikap sinis, Prof. Widagdo menyerukan: "Bersama kita bisa!!!".

Sumber : www.itb.ac.id

Institut Pertanian Bogor (IPB) Gelar Temu Konsultasi Publik Dan Jaring Aspirasi Rancangan Undang-Undang Tentang Kepemudaan

Rancangan Undang-Undang (RUU) ini bertujuan mengatur kebijakan nasional dibidang kepemudaan secara komprehensif, konsisten, sistemik dan mampu memberikan kepastian hukum dan pemenuhan hak asasi manusia pemuda.

Demikian disampaikan Staf Khusus Bidang Kebijakan dan Pengawasan Kementrian Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia Budi Dharmawan dalam Temu Konsultasi Publik dan Jaring Aspirasi Rancangan Undang-Undang Tentang Kepemudaan, Senin (22/12) di Institut Pertanian Bogor (IPB) International Convention Center, Bogor. Kegiatan ini diselenggarakan IPB bekerjasama dengan Kementrian Negara Pemuda dan Olah Raga RI.

Acara ini dibuka Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S dan laporan Ketua Panitia yang juga merupakan Direktur Kemahasiswaan IPB Dr. Rimbawan.

Mewakili Tim Perumus, Dr.Titik Sumarti didampingi Dr. Rimbawan dan elemen kepemudaan lain membacakan hasil rumusan peserta temu publik ini menyampaikan, meskipun dalam uji publik ini ada pihak yang menilai perlu atau tidaknya adanya rancangan undang-undang tentang kepemudaan, namun secara umum para pembahas menilai positif keberadaan rancangan undang-undang kepemudaan.

Anggota Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Sukmaya mengatakan, pemerintah terkesan membatasi ruang gerak kegiatan kepemudaan dan ikut campur terlalu jauh dalam mengatur organisasi kepemudaan. Pembahas merasa prihatin melihat pemuda yang kurang produktif dalam perubahan sosial. "Para pemuda tidak boleh dikekang, secara substansial ini sebuah kemajuan untuk menyempurnakan RUU ini. Secara umum masih dijumpai pasal-pasal dalam RUU yang perlu penjelasan lebih lanjut," katanya.

"Peserta yang keberatan menduga bahwa RUU ini dapat diberlakukan sebagaimana yang terjadi pada masa lalu," kata Dr. Titik. Sementara itu, sebagian besar pembahas yang setuju menyatakan bahwa RUU ini berfungsi sebagai payung hukum yang memberikan kepastian hukum dalam melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan pemuda. Pemuda sebagai kekuatan bangsa masa depan memiliki kebebasan dalam berkreasi dan aktivitas. Apalagi pemuda berperan penting dalam gerakan riil masyarakat dan pemerintah.

Dr. Titik membacakan hasil rumusan dan rekomendasi dalam RUU tentang Kepemudaan diantaranya:

  1. Masalah definisi batasan usia pemuda yang belum ada landasan justifikasi ilmiah. Peserta sepakat batasan usia pemuda 18 - 35 tahun sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional.
  2. Pemuda masih belum diposisikan sebagai subjek dalam pengembangan kepemudaan.
  3. Perlu adanya komparasi antara RUU tentang Kepemudaan dengan UU no 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan UU lainnya.
  4. Perlu dipertimbangkan penggunaan istilah badan, dinas, dan kantor dalam RUU tentang Kepemudaan.
  5. Undang-Undang tentang Kepemudaan menjadi acuan terhadap perubahan UU lain yang terkait, misalnya, UU Ormas pada bagian beririsan.
  6. Perlu dibuat Peraturan Pemerintah (PP) yang menunjang kepemudaan antara lain: Peraturan Pemerintah tentang Pendanaan Kepemudaan, Peraturan Pemerintah tentang Penghargaan Kepemudaan, Peraturan Pemerintah tentang Kepemimpinan, Peraturan Pemerintah tentang kepeloporan, Peraturan Pemerintah tentang Kewirausahaan. Peraturan Pemerintah yang disusun harus mensikronisasi dengan PP lain yang terkait.
  7. Perlu adanya penyempurnaan dalam beberapa pasal-pasal yang bias maknanya dan kurang relevan dengan kondisi sekarang.
  8. Perlu penjabaran secara jelas jaminan pemenuhan hak-hak pemuda
  9. Perlu adanya penyaluran anspirasi dalam wadah kepemudaan.

Hadir dalam kegiatan ini: pimpinan IPB, pejabat pemkab dan pemkot Bogor, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Bogor, pembantu rektor bidang kemahasiswan se-Bogor, organisasi kepemudaan diantaranya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) kabupaten dan kota Bogor, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bogor, serta perwakilan dinas-dinas yang membawahi kepemudaan di lingkup pemerintahan kabupaten maupun kota Bogor. Dengan jumlah sekitar 100 orang peserta.

Sumber: www.ipb.ac.id

Jumat, 19 Desember 2008

Peran Dewan Air dalam Pengendalian Pencemaran Air

Oleh :

Ir. Muhtadi Arsyad Temenggung, M.Si
(Anggota Dewan Air Kota Bandar Lampung)


Pendahuluan

Pengelolaan Kota (urban management) merupakan upaya mengalokasikan sumber daya yang dimiliki secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat dan menciptakan pembangunan kota yang berkelanjutan. Salah satu sumber daya yang cukup krusial untuk ditangani adalah pengelolaan sumber daya air. Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang acapkali terabaikan dan sering menimbulkan dampak negatif apabila tidak dikelola secara baik. Hal ini tercermin dari seringnya terjadi kekeringan apabila musim kemarau dan terjadi banjir apabila musim penghujan. Tetapi “ bicara “ tentang air tidak lepas dari kualitas lingkungan, karena kelestarian lingkungan merupakan hal penting dalam pengelolaan sumber daya air.
Air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas manusia apabila kegiatan yang dilakukan tidak memperhatikan aspek-aspek ekologis. Pencemaran air dapat merupakan masalah lokal, regional bahkan global apabila pencemaran tersebut mempengaruhi kualitas air secara keseluruhan.

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001, pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Untuk itu, air dapat dikategorikan tercemar jika mengalami hal-hal sebagai berikut :

  • Air mengandung zat, energi dan atau komponen lain yang dapat merubah fungsi air sesuai peruntukkannya, atau disebut parameter pencemaran.
  • Kandungan parameter pencemaran di dalam air telah melampaui batas baku mutu sehingga menimbulkan gangguan terhadap pemanfaatannya.

Berkaitan dengan pencemaran air terdapat tiga penyebab utama tercemarnya lingkungan perairan (Environmental Agency, 1962), yaitu:

  1. Peningkatan konsumsi atau penggunaan air sehubungan dengan peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat, dengan konsekuensi meningkatnya air limbah yang mengandung berbagai senyawa atau materi tertentu.
  2. Terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti dengan peningkatan buangan yang tertampung di lingkungan perairan sehingga daya pemulihan diri perairan tersebut terlampaui. Akibatnya perairan menjadi tercemar dengan tingkat yang semakin berat.
  3. Kurangnya atau rendahnya investasi sosial, ekonomi dan budaya untuk memperbaiki lingkungan perairan, seperti investasi untuk sistem sanitasi, pengolahan limbah dan perlakuan lainnya.

Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas lingkungan yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Kota Bandar Lampung tahun 2005 diketahui bahwa kualitas perairan sungai yang ada di Kota Bandar Lampung kondisinya cukup memprihatinkan. Umumnya sungai-sungai yang mengalir di Kota Bandar Lampung hanya memenuhi mutu air kelas III (untuk budidaya ikan air tawar, peternakan, mengairi tanaman dan kegiatan lain yang mensyaratkan mutu yang sama) dan IV (untuk mengairi tanaman kegiatan lain yang mensyaratkan mutu yang sama). Sumber pencemaran perairan sungai umumnya disebabkan oleh limbah organik yang berasal dari rumah tangga, hotel, restauran, rumah sakit maupun industri.

Melihat berbagai permasalahan sumberdaya air yang dihadapi Kota Bandar Lampung terutama masalah pencemaran, maka sudah saatnya pengelolaan sumberdaya air menjadi perhatian serius berbagai pihak. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pengelolaan Sumber Daya Air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air.

Kondisi Lingkungan Perairan Kota Bandar LampungKota Bandar Lampung yang merupakan Ibukota Propinsi Lampung terletak di bagian ujung Selatan Pulau Sumatera. Secara geografi terletak pada posisi 5O20’ - 5O30’ Lintang Selatan dan 105O28’ - 105O37’ Bujur Timur. Berdasarkan Peraturan Daerah nomor 04 tahun 2001 Kota Bandar Lampung terdiri dari 13 Kecamatan dan 98 Kelurahan dengan luas wilayah 197,22 km2 dan jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak 809.860 jiwa terdiri dari laki-laki 411.220 jiwa dan perempuan 348.640 jiwa.

Secara hidrologi Kota Bandar Lampung mempunyai dua sungai besar (main drain) yaitu Way Kuripan dan Way Kuala dan 23 sungai-sungai kecil, semua sungai yang ada merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada dalam wilayah Kota Bandar Lampung dan sebagian besar bermuara ke Teluk Lampung. Sungai yang mengalir di wilayah Kota Bandar Lampung antara lain: (1) Sungai Way Kuripan, Way Kupang, Way Kunyit dan Way Bakung sebagai zona drainase Tanjungkarang; (2) Sungai Way Kemiling, Way Pemanggilan, Way Langkapura, Way Kedaton, Way Balau, Way Halim, Way Durian Payung; Way Simpur; Way Awi, Way Penengahan dan Way Kedamaian sebagai zona drainase Telukbetung; (3) Sungai Way Lunik Kanan dan Way Lunik Kiri, Way Pidada, Way Galih Panjang dan Srengsem sebagai bagian dari zona drainase Panjang; (4) Sungai Way Kandis 1, Way Kandis 2, Way Kandis 3 merupakan bagian dari zona drainase Kandis.

Daerah hulu sungai berada di wilayah bagian barat, wilayah Kota Bandar Lampung dan daerah hilir sungai berada di wilayah bagian selatan Kota Bandar Lampung yaitu pada dataran pantai yang berada di wilayah Kecamatan Panjang, Telukbetung Selatan dan Telukbetung Barat.
Berdasarkan hasil Studi Penentuan Kelas Sungai yang dilakukan oleh Bapedalda Kota Bandar Lampung tahun 2005 terhadap beberapa sungai yang ada di Kota Bandar Lampung diketahui bahwa kualitas perairan sungai yang ada masuk dalam kategori kelas II, III dan IV. Sedangkan untuk kelas I tidak ada yang memenuhi.

Faktor penyebab rendahnya kualitas perairan sungai tersebut antara lain disebabkan antara lain :

  1. daya tampung, karakteristik sungai di Kota Bandar Lampung yang merupakan sungai kecil dengan debit yang kecil, menyebabkan daya tampung beban pencemarannya juga rendah. Sungai-sungai tersebut sangat rentan terhadap pencemaran air. Sedikit saja polutan masuk ke dalam sungai kemungkinan sudah dapat mengakibatkan pencemaran;
  2. kondisi hulu sungai, exploitasi daerah hulu sungai oleh kegiatan pertambangan, pembangunan perumahan, budidaya tanaman semusim menyebabkan tingkat erosi meningkat dan akhirnya mempertinggi kandungan TSS di sungai;
  3. limbah cair domestik, belum adanya system pembuangan air limbah yang terpisah dari saluran air hujan dan belum adanya IPAL domestik terpadu menyebabkan air limbah domestik/rumah tangga yang jumlahnya besar (70-80% penggunaan air bersih) bercampur dengan air sungai yang debitnya kecil sehingga menyebabkan pencemaran;
  4. limbah cair usaha/kegiatan lain, belum efektifnya pengolahan limbah dari usaha/kegiatan seperti industri, hotel, rumah sakit, restauran juga memberikan konstribusi terhadap pencemaran sungai;
  5. sampah, rendahnya kesadaran masyarakat yang masih menganggap sungai sebagai tempat pembuangan sampah disamping menimbulkan menurunnya estetika juga menyebabkan peningkatan beban pencemaran pada sungai.

Sedangkan kualitas air bersih sumur gali berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Bapedalda Kota Bandar Lampung tahun 2005 dibeberapa lokasi pemukiman diketahui bahwa kualitas mikrobiologi tidak memenuhi persyaratan dengan nilai parameter bakteri Total Coliform melebihi batas maksimum yang dipersayaratkan (batas maksimum yang diperbolehkan sebesar 50 MPN per 100 ml berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 416/Menkes/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Bersih). Adapun lokasi pemantauan kualitas sumur gali yang dilakukan adalah di pemukiman Mesuji (Pahoman), KM Salim (Way Lunik), Sukarno-Hatta (Pidada), Chairil Anwar (Durian Payung), M. Sangaji (Beringin), Sam Ratulangi (Gedong Air), Sukardi Hamdani (Labuhan Ratu), Tirtayasa (Sukabumi), Griya Kencana (Way Halim), Kenanga (Rawa Laut), Turi Raya (Tanjung Senang) dan Kapten Abdul Hak (Rajabasa).

Adapun akibat rendahnya kualitas air bersih sumur gali ini disebabkan oleh karena belum adanya sistem pengolahan air kotor dan sistem resapan air dari septik tank, keterbatasan PDAM dalam menyuplai suplai air bersih menyebabkan kecenderungan pola satu rumah-satu sumur-satu septic tank, keterbatasan luas kavling yang dimiliki (kepadatan rumah) menyebabkan jarak sumur dengan septic tank sangat dekat, sehingga ada kecenderungan sumur gali/air tanah dangkal tercemar bakteri fecal coli.


Wadah Koordinasi Pengelolaan Sumberday Air

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan membentuk wadah koordiansi pengelolaan sumberdaya air. Melalui pertemuan stakeholder sumber daya air pada tanggal 15 Desember 2004 telah di bentuk wadah koordiansi pengelolaan sumberdaya air di Kota Bandar Lampung dengan nama Dewan Air Kota Bandar Lampung dan disyahkan melalui Keputusan Walikota Bandar Lampung Nomor 110/23/HK/2005 tanggal 11 April 2005. Sebagai wadah koordinasi, keanggotaan Dewan Air Kota Bandar Lampung terdiri dari unsur Pemerintah (Dinas/Instansi terkait) dan unsur Non Pemerintah (perwakilan masyarakat dan pengusaha) yang memiliki peran, fungsi dan tanggung jawab yang sama dalam pengelolaan sumber daya air di Kota Bandar Lampung. Sedangkan Perguruan Tinggi, LSM, Organisasi Profesi/Asosiasi bertindak sebagai narasumber.
Tujuan dibentuknya Dewan Air Kota Bandar Lampung adalah untuk menjaga fungsi dan manfaat air serta sumber air yang dilakukan melalui keterpaduan tindak dalam pengelolaannnya dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan (stakeholder) dalam bidang sumber daya air secara berkelanjutan.


Tugas pokok Dewan Air Kota Bandar Lampung

Tugas pokok Dewan Air Kota Bandar Lampung adalah membantu Walikota Bandar Lampung dalam menyusun dan merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air di Kota Bandar Lampung. Sedangkan fungsinya adalah: (1) merumuskan rencana perlindungan, pengembangan, penggunaan pengusahaaan air/sumber air; (2) merumuskan rencana prioritas penggunaan air/sumber air; (3) merumuskan pengaturan penggunaan dan pengusahaan air/sumber air; (4) merumuskan rencana konservasi tanah dan air; (5) merumuskan pengaturan pengendalian banjir dan pencegahan kekeringan; (6) merumuskan pengaturan pengendalian pencemaran dan pengelolaan kualitas air; (7) merumuskan pengaturan/rekomendasi perizinan eksploitasi air tanah; (8) Merumuskan pengaturan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS); (9) pengawasan atas pelaksanaan hasil keputusan Dewan Air dan Peraturan Perundang-undangan tentang sumber daya air.


Peran Dewan Air Dalam Pengendalian Pencemaran Air

Melihat berbagai permasalahan berkaitan dengan pencemaran lingkungan perairan di Kota Bandar Lampung, Dewan Air Kota Bandar Lampung sebagai wadah koordiansi pengelolaan sumberdaya air memegang peranan penting dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Stakeholder pengelolaan sumber daya air yang terdiri dari unsur pemerintah (Dinas/Instansi terkait), dunia usaha (swasta/BUMN/BUMD), kalangan akademisi, organisasi profesi/asosiasi, Lembaga Swadaya Masyarakat, insan pers dan masyarakat umum yang merupakan bagian dari organisasi Dewan Air Kota Bandar Lampung hendaknya memainkan perannya secara sinergi dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air serta mengalokasikan sumber daya yang dimiliki pada obyek yang sama dalam melakukan tindakan nyata konservasi sumber daya air. Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Sumber Daya Air, konservasi sumber daya air merupakan upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa yang akan datang. Konservasi sumber daya air hendaknya dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber daya air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Kegiatan konservasi sumberdaya air dapat dilakukan melalui upaya nyata dengan melakukan Pilot Projek Kali Binaan yang dilakukan oleh secara sinergi dan berkelanjutan oleh stakeholders sumber daya air melalui wadah koordinasi Dewan Air Kota Bandar Lampung. Konsep Kali Binaan dilakukan pada sungai yang masuk kategori tercemar berat (tipe sungai kelas IV) mulai dari hulu sungai hingga hilir dengan fokus kegiatan pada pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana air, sedangkan pengendalian pencemaran air dilakukan dengan cara mencegah masuknya bahan pencenar pada sumber air atau prasarana air.


Penutup
Demikianlah sumbang pemikiran yang dapat disampaikan oleh Dewan Air Kota Bandar Lampung dalam upaya pengendalian lingkungan perairan di Kota Bandar Lampung. Semoga menjadi bahan perenungan bagi kita semua untuk melakukan tindakan nyata dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya air di Kota Bandar Lampung melalui Pilot Projek Kali Binaan.

(e-mail Penulis : ma_temenggung@yahoo.co.id)

Selasa, 16 Desember 2008

Iowa State University Selected to Receive $600,000 in Grants to Reduce Upstream Pollution Impacting Gulf of Mexico

Contact Information: Whitley, (913) 551-7394, whitley.christopher@epa.gov


Environmental News

FOR IMMEDIATE RELEASE

(Kansas City, Kan., Dec. 12, 2008) - Iowa State University has been selected to receive $600,000 in grants from EPA's Targeted Watersheds Grant Program to reduce upstream pollutants that contribute to an oxygen-depleted hypoxic zone in the Gulf of Mexico.

Iowa State's three proposals for watershed projects will support agricultural conservation measures and create a variety of innovative, market-based programs to reduce water pollution.

"Protecting our nation's watersheds is a top priority for EPA," said EPA Region 7 Administrator John B. Askew. "Through this national program, Iowa State joins nine other organizations selected to receive more than $3.7 million to improve water quality."

The university's projects are intended to improve water quality through strategies aimed at reducing the amounts of nitrogen, phosphorus and sediment that ultimately reach the Gulf of Mexico. The selected projects will focus on the Raccoon River, Walnut Creek and Boone River watersheds.

EPA initiated the Targeted Watersheds Grant Program in 2002 to encourage successful community-based approaches to protect and restore the nation's watersheds. Watershed health is important to providing clean, safe water where Americans live, work and play. To date, more than $55 million has been provided through the Targeted Watershed Grants Program.

_______________________________________________________________

Sabtu, 29 November 2008

Walhi: Kerugian Akibat Banjir Sumatera Capai Rp500 Miliar

Jakarta (ANTARA News) - Walhi memperkirakan total kerugian langsung akibat banjir yang melanda Pulau Sumatera sejak bulan Maret hingga November 2008 mencapai Rp500 miliar per tahun.

"Total kerugian akibat banjir di Sumatera ditaksir mencapai Rp300 hingga Rp500 miliar. Kita tidak tahu apakah ini sebanding dengan perolehan dari konversi hutan," kata Manager Regional Sumatera Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friatna, di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan perlu ada usaha bahu-membahu untuk mendorong pemerintah segera melakukan restorasi kawasan ekologi genting. Usaha-usaha tersebut sangat diperlukan agar lingkungan yang telah rusak cepat pulih dan bencana dapat dikurangi.

Walhi mencatat sejak bulan Maret 2008 telah terjadi 34 kali banjir di Sumatera. Di provinsi Aceh terjadi lima kali banjir yang meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Singkil, dan Aceh Tenggara.

Sedangkan di propinsi Sumatera Utara, dia mengatakan, banjir terjadi sebanyak sembilan kali meliputi delapan kabupaten/kota. Intensitas tertinggi melanda Kabupaten Asahan sebanyak tiga kali dan Kabupaten Batubara dua kali.

Lebih lanjut, dia mengatakan, di propinsi Riau banjir terjadi lima kali. Intensitas tertinggi melanda Kota Pekan Baru yaitu sebanyak tiga kali, sedangkan kabupaten yang juga terkena banjir adalah Rokan Hilir dan Dumai.

Sementara itu, dia mengatakan, di propinsi Lampung dalam satu tahun ini telah dilanda lima kali banjir dengan Intensitas tertinggi terdapat di Kota Bandar Lampung sebanyak dua kali.

Sumatera Utara, Aceh, Riau, dan Lampung, merupakan provinsi yang paling sering dilanda banjir, ujar dia, dan merupakan provinsi yang memeiliki sumberdaya hutan terluas di Sumatera. Seharusnya dengan sumberdaya tersebut, bencana banjir bisa di hindari.

Lebih lanjut, dia mengatakan, intensitas banjir terbanyak terjadi pada bulan Oktober yaitu delapan kali. Dan diperkirankan akan menghadapi puncaknya pada Bulan Desember.

"Banjir yang paling parah terjadi Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung, 46 rumah penduduk hanyut dibawa air. Kerugian tertinggi ada di provinsi Riau, jumlahnya Rp150 miliar, di Sumatera Utara mencapai Rp85 miliar, dan Aceh mecnapai Rp25 miliar," ujar dia.

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry Nahdian Forqan, terdapat lima indikator utama penyebab bajir, yaitu adanya konversi hutan alam untuk perkebunan skala besar seperti Hutan Tanaman Industri dan perkebunan sawit, berkurangnya tutupan hutan alam, terjadinya perubahan bentang alam dan pola penataan ruang yang tidak memepertimbangkan daya dukung lingkungan, serta tingkat curah hujan yang tinggi.(*)

COPYRIGHT © 2008

Kamis, 27 November 2008

Cost and Benefits Sharing dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)


Pendahuluan

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dikelilingi dan dibatasi oleh topografi alami berupa punggung bukit atau pegunungan, dimana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang akhirnya bermuara ke danau atau laut. Batas-batas alami DAS dapat dijadikan sebagai batas ekosistem alam yang seringkali tidak bertumpang-tindih dengan batas administratif , bahkan umumnya batas DAS melintasi batas kabupaten, propinsi, bahkan lintas negara. Aliran air yang mengalir dari hulu DAS ke bagian hilirnya berjalan mengikuti alur-alur sungai yang telah terbentuk secara alami, dan melintasi beberapa wilayah administratif dan/atau politis yang berbeda.Di dunia terdapat 214 sungai yang melintasi dua negara atau lebih, 13 sungai diantaranya melintasi lima atau lebih negara, dan 4 sungai (Sungai Kongo, Danube, Nil, dan Niger) melintasi sembilan atau lebih negara (Frederick, 2001).

Interaksi antar wilayah hulu dan hilir dalam suatu wilayah DAS sangat erat, dimana perubahan yang terjadi di bagian hulu DAS akan mempengaruhi bagian hilirnya. Dalam hal ini eksternalitas akibat kegiatan di bagian hulu berdampak terhadap bagian hilirnya. Erosi yang hebat akibat kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan konservasi tanah di bagian hulu menjadi eksternalitas negatif yang dirasakan oleh masyarakat di sepanjang aliran DAS sampai bagian hilirnya, misalnya terjadinya peningkatan laju sedimentasi dan penurunan kualitas air. Sebaliknya, kondisi ekosistem di bagian hulu yang terjaga baik memberikan eksternalitas positif, misalnya berupa jasa lingkungan hidrologis yang memasok kebutuhan air masyarakat di bagian hilirnya dengan kuantitas yang memadai dan berkesinambungan dengan kualitas baik yang memenuhi syarat mutu air yang ditentukan. Aylward (2000) menyebutkan beberapa contoh dampak ekonomi akibat perubahan lahan di bagian hulu, yaitu : (a) pengaruh sedimentasi dari reservoir terhadap kerugian pembangkit tenaga listrik air (PLTA); (b) produktifitas irigasi yang menurun dengan meningkatnya sedimentasi; (c). peningkatan biaya produksi dan pemeliharaan dari saluran-saluran air dan reservoir; (d) peningkatan biaya pengerukan dan pemeliharaan yang berhubungan dengan sedimentasi di dalam reservoir PLTA; (d). peningkatan biaya dari water treatment akibat tercemarnya air; (e) kehilangan produksi perikanan akibat sedimentasi dan pencemaran perairan (sungai); (f) kehilangan pendapatan dari kegiatan pariwisata akibat rusaknya kualitas air sungai; dan (g) kehilangan kesempatan navigasi akibat menurunnya sedimentasi dan suplai air.

Perbedaan wilayah administratif di dalam suatu wilayah DAS seringkali menimbulkan sengketa atau konflik di dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat lintas wilayah, terutama aliran air yang bergerak melintasi beberapa wilayah administratif yang berbeda. Masalah konflik air dapat terjadi di berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia yang sejak 1 Januari 2001 menerapkan sistem desentralisasi atau otonomi daerah (otda) yang lebih luas. Otonomi daerah tersebut memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya, termasuk mengelola sumberdaya alam di wilayah administratifnya. Daerah yang memiliki sumberdaya alam umumnya merasa paling berhak untuk mengatur dan mengelolanya dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga untuk sumberdaya alam yang lintas wilayah seperti air berpotensi menimbulkan konflik diantara daerah-daerah yang menggunakannya. Adanya konflik antar daerah akan menciptakan instabilitas yang dapat memicu konflik sipil. Imai dan Weinstein (2000) menyebutkan bahwa konflik sipil dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, menurunnya investasi, dan peningkatan defisit pemerintah untuk pembangunan. Nitibaskara (2002) mencatat bahwa konflik air minum antar daerah setelah otda diberlakukan pernah terjadi antara Kota Bukittinggi dengan Kabupaten Agam, dan antara Kabupaten Badung dengan Kabupaten Tabanan. Pasokan air ke Kota Bukittinggi pada tanggal 4-5 Januari 2001 sempat terhenti karena warga Sungai Tanang membendung aliran Sungai Tanang yang memasok air ke Bukittinggi. Tindakan ini diambil karena tuntutannya untuk mendapatkan bagi hasil dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bukittinggi tidak dipedulikan. Sementara itu, Kabupaten Tabanan mengancam menaikan tarif air PDAM setelah diketahui bahwa Kabupaten Badung berencana menghentikan distribusi pendapatan asli daerahnya. Apabila rencana penghentian ini dilaksanakan, maka Kabupaten Tabanan akan kesulitan menutupi anggaran belanja daerahnya karena tidak cukup memiliki pendapatan sendiri. Akibat ancaman ini, maka Kabupaten Badung menunda rencananya. Konflik air minum antar daerah juga terjadi di kawasan Gunung Ciremai antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon yang mencuat menjadi isu publik di Propinsi Jawa Barat pada tahun 2004.

Konflik-konflik tersebut umumnya disebabkan oleh belum terbangunnya kesepahaman dan komitmen untuk bersama-sama mengelola sumberdaya alam yang lintas wilayah tersebut. Air yang mengalir dari bagian hulu merupakan output hidrologis dari ekosistem bagian hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan air yang secara ekonomi memiliki tiga kemungkinan yang berhubungan dengan kegunaan (utility) sebagai berikut :

a. H (hydrological outputs) mungkin masuk secara langsung ke dalam kegunaan individu, misalnya tingkat sedimen yang tinggi dalam aliran sungai mempengaruhi kegunaan individu menikmati indahnya pemandangan (estetika alam). Kualitas dan kuantitas air secara langsung ataupun tidak langsung masuk ke dalam kegunaan individu, misalnya untuk air konsumsi, kesehatan, dan produksi subsisten lainnya. Fungsi kegunaan individu adalah :
U = U (X, H)
dimana U adalah fungsi kegunaan individu, X terdiri dari kuantitas barang privat (individu)
( X = x1, x2, ..., xn). Individu diasumsikan memaksimumkan kegunaan dari pendapatan
(M) : pj . xj = M
dimana p adalah harga dari barang privat, dan x adalah jumlah barang privat.

b. H mungkin menjadi input ke dalam produksi kegunaan rumah tangga (household production of utility) dalam menghasilkan barang dan jasa, misalnya fungsi hidrologis secara langsung mempengaruhi rumah tangga pedesaan yang menggunakan air untuk kebutuhan domestik dan pertanian, penggunaan saluran air untuk navigasi dan pengiriman produk ke pasar, serta penggunaan tenaga air untuk mencapai pekerjaan mekanis dasar (basic mechanical tasks). Dampak hidrologis yang mengalir ke hilir (downstream hdrological impacts) dari perubahan penggunaan lahan akan dapat dirasakan oleh fungsi produksi rumah tangga di sepanjang aliran DAS. Dalam kasus fungsi produksi rumah tangga, kegunaan dari rumah tangga diasumsikan diturunkan dari suatu vektor jasa final (final services) , Z, yang menghasilkan kegunaan :
U = U (Z) = u (z1, ..., zk, ..., zo)
Jasa final (final services) sendiri diproduksi oleh teknologi yang umum untuk semua rumah tangga dan bekerja sebagai vektor input barang yang diperdagangkan atau tidak diperdagangkan dari output produksi :
zk = zk (X, H)
Adapun fungsi pembatas anggarannya dirumuskan sebagao berikut :
 pj . xj  M

c. H mungkin menjadi suatu faktor input dalam produksi barang yang dipasarkan, misalnya aliran air digunakan sebagai input pembangkit tenaga listrik. Produksi barang yang dipasarkan, x memiliki fungsi sebagai berikut :
x = x (k, w, ..., H)
dimana k adalah fungsi modal, dan w adalah fungsi tenaga kerja. Produksi diawali dengan asumsi bahwa tambahan fungsi k dan w akan meningkatkan x. Produksi yang meningkat ini sejalan dengan meningkatnya fungsi jasa lingkungan, dalam hal ini H mungkin mendukung atau membatasi produksi. Hasil air yang tersedia dalam jumlah memadai akan meningkatkan produksi x, namun hasil sedimen tidak meningkatkan produksi. Sebagai contoh peningkatan dalam aliran air (streamflow) dalam pembangkit listrik diasumsikan memiliki dampak positif terhadap produksi. Sedangkan meningkatnya hasil sedimen akan menurunkan produksi, dimana pengelola harus mengeluarkan biaya untuk mengurangi laju sedimentasi di bendungannya. Perubahan dalam hidrologi akan mengubah kurva biaya untuk x sebagaimana faktor permintaan untuk k dan w. Apabila faktor harga tetap, maka fungsi biaya menjadi :
C = C (pw, pk, x, H)
Produser diasumsikan meminimumkan biaya dan dampak perubahan dalam H dirasakan oleh konsumen (sebagai perubahan harga) atau dalam faktor pasar (permintaan untuk perubahan input).

Bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir, sehingga keterkaitan hulu dan hilir DAS sangat erat. Daerah hilir tidak mungkin mendapatkan kesinambungan pasokan air minum dengan kuantitas dan kualitas yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu (Acreman, 2004; Johnson et al., 2001). Apabila terjadi gangguan terhadap ekosistem hulu yang menjadi resapan air, maka tanggung-jawab tidak hanya dipikul oleh masyarakat hulu akan tetapi juga merupakan tanggung-jawab masyarakat hilirnya. Oleh karena itu tanggung-jawab memelihara kondisi DAS seharusnya menjadi tanggung-jawab bersama daerah-daerah di hulu sampai dengan daerah-daerah di hilirnya. Namun dalam kenyataannya, pasokan air minum yang merupakan kontribusi daerah hulu terhadap daerah hilirnya belum mendapatkan apresiasi dan penilaian yang pantas karena air umumnya masih dipersepsi sebagai barang publik. Daerah hulu sebagai daerah resapan air belum mendapatkan perhatian dan kontribusi dari daerah hilir yang memadai, termasuk upaya daerah hilir membantu konservasi resapan air di daerah hulu. Beban konservasi kawasan hulu pun sebenarnya menjadi tanggung-jawab daerah hilir sebagai pengguna air, sehingga tuntutan daerah hulu mendapatkan kontribusi dana untuk konservasi kawasannya adalah wajar. Imbangan antar daerah dalam pengelolaan sumber air minum di kawasan tersebut belum tercapai yang diindikasikan dengan masih tingginya beban konservasi kawasan hulu yang harus ditanggung oleh daerah hulu dibandingkan dengan daerah-daerah hilirnya.Cruz et al.(2000) menyebutkan bahwa biaya untuk penggunaan air yang berasal dari sumber air di dalam kawasan hutan belum memasukkan biaya perlindungan dan pengelolaan yang sebenarnya serta biaya kerusakan lingkungan yang timbul akibat pemanfaatan air, sehingga nilai air umumnya di bawah nilai yang sebenarnya (underestimated). Nilai kontribusi konservasi dari pengguna air minum merupakan pendekatan PES (payment for environmental services) atas jasa hidrologis kawasan daerah resapan air yang dimanfaatkan oleh pengguna air minum. Bagi pengguna air minum yang berada di bagian hilir, nilai kontribusi konservasi tersebut merupakan bentuk dari kontribusi hilir untuk membantu melestarikan kawasan sumber air minum di bagian hulu. Konsep PES ini dapat dipandang sebagai bentuk implementasi cost and benefit sharing dalam pengelolaan DAS.

Konflik Berbasis Sumberdaya Alam

Masalah alokasi air lintas wilayah yang tidak merata telah mengubah keberadaan air yang awalnya merupakan barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi, alat politik dan pemicu konflik diantara pengguna air. Konflik selalu terjadi di dalam interaksi antara individu/kelompok/masyarakat dengan individu/kelompok/masyarakat lainnya untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang sama. Perubahan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan di suatu wilayah memiliki konsekuensi negatif terhadap wilayah-wilayah di sekitarnya dan memicu timbulnya konflik lingkungan antar wilayah. Spector (2001) mengklasifikasikan perubahan sumberdaya alam dan lingkungan yang potensial menjadi masalah lintas wilayah menjadi empat aspek, yaitu : terjadinya degradasi (polusi) lingkungan, adanya kelangkaan (scarcity/shortages) dari sumberdaya alam dan lingkungan, maldistribusi sumberdaya alam (inequitable allocation), dan bencana alam/lingkungan atau kecelakaan yang terjadi secara alami atau akibat perbuatan manusia. Ada empat model hubungan antara perubahan sumberdaya alam dan lingkungan dengan terjadinya konflik, yaitu Scarcity Model, Modernization Model, Spillover Model, dan Leading Edge Model (Spector, 2001). Model scarcity (model kelangkaan) merupakan model yang paling populer dibandingkan model lainnya. Tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan : penurunan dan degradasi pasokan sumberdaya alam, peningkatan kebutuhan dan konsumsi sumberdaya alam, dan distribusi sumberdaya alam yang tidak merata di dalam populasi.

Apabila sumberdaya alam tersebut terbagi ke dalam beberapa wilayah dan ketersediannya mulai terancam maka potensi konflik antar wilayah (transboundary conflicts) akan terjadi (Spector, 2001). Kelangkaan sumberdaya alam mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial, dan budaya di dalam suatu wilayah. Sebagai contoh penurunan produksi pertanian akibat makin terbatasnya suplai air berpengaruh terhadap meningkatnya kesukaran ekonomi, migrasi terjadi, ketegangan etnis meningkat, dan sistem pemerintahan melemah. Dampak-dampak tersebut akan memicu konflik yang hebat. Konflik yang terjadi akibat kelangkaan air di Timur Tengah dan beberapa wilayah lainnya di dunia merupakan contoh konflik berdasarkan model kelangkaan (scarcity model).

Model modernisasi (modernization) didasarkan atas asumsi bahwa tekanan akibat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan khususnya di negara-negara berkembang telah mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat intensif dan menimbulkan polusi lingkungan yang menyebabkan pembangunan berjalan tidak berkelanjutan. Sebagai contoh dampak pencemaran air di hulu atau tengah DAS akibat buangan limbah industri akan dirasakan oleh masyarakat di wilayah hilir sungai, sehingga memicu konflik antar wilayah hulu-hilir. Perbaikan teknologi dan investasi pengolahan limbah diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik (Spector, 2001).
Model spillover melihat konflik lingkungan berasal dari sengketa domestik, tetapi secara cepat berkembang menjadi sengketa antar wilayah. Dalam prosesnya sifat konflik dapat berubah dari masalah lingkungan menjadi masalah sosial, ekonomi, dan politik. Spector (2001) mencontohkannya pada peristiwa dehutanisasi di Haiti yang menyebabkan erosi tanah hebat, sehingga tanah pertanian tidak bisa diolah kembali. Akibat rusaknya tanah pertanian di Haiti telah memaksa penduduknya untuk bermigrasi ke Amerika Serikat. Kedatangan pengungsi Haiti menjadi masalah sosial, ekonomi, dan politik yang serius antara Haiti dan Amerika Serikat.
Model terakhir yaitu Leading Edge Model memandang masalah-masalah lingkungan sebagai pemicu dan pemanas konflik antar wilayah yang sebelumnya telah ada tetapi tidak muncul ke permukaan (bersifat laten). Spector (2001) mencontohkan konflik antara Senegal dan Mauritania tentang kelangkaan lahan pertanian dan ancaman kekeringan di Lembah Sungai Senegal. Pada tahun 1989 terjadi peperangan untuk memperebutkan Lembah Sungai Senegal yang menewaskan ratusan orang dan ribuan penduduk mengungsi.

Dari keempat model konflik sebagaimana diuraikan sebelumnya, tampak bahwa permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan dapat memicu perselisihan antar wilayah yang selanjutnya diperbesar oleh masalah ekonomi, sosial, etnis, dan militer. Konflik yang terjadi dalam memperebutkan sumberdaya alam akan merangsang kelompok-kelompok yang bersengketa untuk mencari solusi menghindari konflik yang dapat mengganggu stabilitas wilayah. Airadalah sumberdaya alam yang sering memicu terjadinya konflik lintas wilayah. Keterbatasan, kekurangan, dan kelangkaan air berpotensi sebagai sumber konflik diantara wilayah pengguna air minum Wolf, 1998).

Konflik air lintas wilayah pada dasarnya menyangkut sistem manajemen dan alokasi air yang efisien dan adil (equitable), seperti variabilitas dan ketidakpastian pasokan air, ketergantungan (inter dependencies) diantara pemakai, serta peningkatan kelangkaan dan biaya pengadaan air (Frederick, 2001). Adapun pengaruh manusia sebagai akar dari konflik air adalah penurunan kualitas air dan ekosistem akuatik akibat kegiatan manusia, pemanfaatan air tidak efisien, serta kebutuhan air yang tidak seimbang dengan ketersediaan air yang ada.

Konflik air lintas wilayah diantara pengguna air yang secara administratif dan atau politis berbeda, berkaitan pula dengan masih kuatnya doktrin kedaulatan wilayah tanpa batas (unlimited territorial sovereignty) dan tidak jelasnya hak kepemilikan (property rights) dari sumberdaya air. Doktrin kedaulatan wilayah tanpa batas menyatakan bahwa wilayah memiliki hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber air di dalam wilayahnya, sehingga wilayah tersebut merasa lebih berhak untuk mengeksploitasinya tanpa memberikan kompensasi terhadap wilayah lain yang dirugikannya. Akibat dari doktrin ini wilayah atau negara yang merasa dirugikan akan melakukan gugatan yang berujung kepada terjadinya konflik. Kondisi yang hampir mirip terjadi dengan menguatnya kewenangan daerah untuk mengatur sumberdaya alam yang ada di dalam wilayah administratifnya.

Daerah yang memiliki sumber air minum cenderung merasa lebih berhak untuk mengatur sistem pengelolaan air minumnya dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang menggantungkan pasokan air dari padanya, misalnya tuntutan daerah hulu terhadap daerah hilir yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Sebaliknya, doktrin keterpaduan wilayah tidak terbatas (unlimited territorial integrity) yang merupakan kebalikan dari doktrin kedaulatan wilayah tanpa batas, menyatakan bahwa satu wilayah tidak berhak mengubah kuantitas dan kualitas dari ketersediaan air yang mengalir ke wilayah lainnya. Doktrin ini mengatur bagaimana pemanfaatan air di bagian hulu sehingga tidak mengganggu daerah lainnya, seperti diaplikasikan oleh Mesir terhadap negara-negara yang memiliki proyek-proyek air di sepanjang Sungai Nil yang diperkirakan akan mengurangi pasokan air ke Mesir (Frederick, 2001). Kedua doktrin tersebut tidak akan menghasilkan penggunaan air yang efisien apabila tidak diikuti oleh proses tawar (bargaining process) antar wilayah yang terlibat, misalnya doktrin pertama menjadikan India tidak berkeinginan untuk menyediakan insentif dalam mengurangi dampak polusi air sungai yang dirasakan oleh Banglades. Posisi tawar (bargaining position) dalam alokasi sumber air minum lintas regional akan dapat dilaksanakan apabila hak kepemilikan sumber air (water sources property rights) yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dapat dinyatakan secara jelas. Adanya water sources property rights yang jelas akan memunculkan posisi tawar antar wilayah, dan selanjutnya akan menciptakan mekanisme transfer air yang secara ekonomis akan efisien (Frederick, 2001).

Resolusi konflik air lintas wilayah dapat dilakukan dengan menentukan mekanisme alokasi air minum yang sesuai dengan karakteristik wilayah. Alokasi air dalam perspektif kebijakan publik berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya, baik dari yang langsung dikendalikan pemerintah, menggabungkan sistem pasar dan alokasi pemerintah, dan mekanisme sistem pasar dalam transaksi air. Struktur dari alokasi air minum lintas wilayah yang dipilih dipengaruhi oleh keberadaan institusi, kerangka hukum, dan sistem infrastruktur sumberdaya air yang berlaku di tempat tersebut, sehingga setiap sistem alokasinya untuk masing-masing tempat berbeda-beda (Dinar et al.,2001).

Mekanisme Alokasi Air Lintas Wilayah

Menentukan mekanisme alokasi air lintas wilayah merupakan salah satu upaya resolusi konflik dalam pemanfaatan sumber air lintas wilayah. Beberapa mekanisme alokasi sumberdaya air yang dikenal luas di dunia adalah : marginal cost pricing (MCP), alokasi oleh pemerintah, pasar air, dan alokasi berbasis pemakai (Dinar et al., 2001). Keempat alokasi air tersebut dijelaskan berikut ini.

Pendekatan Biaya Marginal (Marginal Cost Pricing, MCP).
Mekanisme MCP pada prinsipnya menetapkan harga air sama dengan biaya marjinal untuk penyediaan dan pasokan air. Sistem alokasi ini secara ekonomi dianggap efisien atau optimal secara sosial. Kriteria efisiensi yang digunakan adalah memaksimumkan nilai total produksi untuk semua sektor ekonomi yang menggunakan air.

Biaya pasokan air yang dihitung meliputi biaya pengumpulan atau pengambilan air dari sumber air, biaya transpor ke tempat pengolahan air (treatment plant), biaya pengolahan air sesuai dengan baku mutu air yang ditetapkan, biaya distribusi air ke konsumen, serta biaya monitoring dan pengawasan. Biaya air juga perlu memasukkan biaya sosial sebagai bentuk biaya eksternalitas pengadaan air terhadap masyarakat, walaupun dalam prakteknya hal ini sering diabaikan. Apabila terjadi biaya yang lebih tinggi dalam mengalokasikan air untuk penggunaan tertentu, maka harga air perlu dibedakan untuk setiap penggunaannya.

Keuntungan diterapkannya mekanisme MCP untuk mengalokasikan sumberdaya air secara teori adalah tercapainya efisiensi. Mekanisme MCP cenderung menghindari under-price dari sumberdaya air yang juga dapat menghindari penggunaan air berlebihan (overuse of water). Dalam kondisi kelangkaan, penggunaan air berlebihan tentunya tidak diharapkan dan menimbulkan biaya sosial tinggi. Penerapan mekanisme MCP merefleksikan pula kelangkaan relatif dari air yang disuplai. Di dalam prakteknya pendekatan MCP dapat dikombinasikan dengan biaya polusi (pollution charges) atau pajak lingkungan, sehingga eksternalitas negatif dari penggunaan air dapat ditekan.

Kelemahan untuk penerapan mekanisme MCP ini berkaitan dengan kesulitan dalam mendefinisikan secara jelas biaya marjinal itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan informasi yang tidak memadai, dimana biaya marjinal di alam bersifat multi-dimensi, biaya marjinal bervariasi menurut periode waktu (short-run versus long-run marginal cost), dan biaya marjinal bervariasi tergantung apakah peningkatan demand bersifat tetap atau sementara. Oleh karena itu seorang analisis harus dapat memprediksi secara jelas biaya tetap dan biaya variabel.
Mekanisme MCP cenderung kurang memperhatikan isu-isu keadilan. Pada waktu terjadi kekurangan atau kelangkaan, jika harga meningkat maka sebagian kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan dampaknya yang cenderung bersifat negatif, sehingga kelompok ini akan tersisih untuk mendapatkan pelayananan air yang memadai.

Penerapan mekanisme MCP memerlukan sistem monitoring untuk mengukur volume air yang disuplai dan digunakan, dan untuk membangun sistem volumetrik tersebut diperlukan biaya tinggi. Pada tingkat pengambil kebijakan implementasi MCP belum banyak dimengerti karena keterbatasan informasi yang dimiliki, sehingga dalam penetapan harga air banyak ditemukan kesalahan penghitungan yang didasarkan atas proses trial and error di dalam menetapkannya. Jika harga ditetapkan terlalu rendah, permintaan air (water demand) akan meningkat, selanjutnya jika harga air ditetapkan terlalu tinggi maka transaksi sulit terjadi dan air akan dibuang percuma ke saluran-saluran drainase.

Alokasi Air oleh Pemerintah (Public-Based Water Allocation)
Ada tiga alasan intervensi pemerintah dalam mengalokasikan sumberdaya air, yaitu : kesulitan memperlakukan air sebagai barang pasar, air secara luas masih dianggap sebagai barang publik, dan pengembangan sumberdaya air skala besar umumnya terlalu mahal untuk dilaksanakan oleh sektor swasta.
Model alokasi oleh pemerintah sering ditemukan dalam sistem alokasi air irigasi. Pemerintah memutuskan apakah sumberdaya air dapat digunakan oleh sistem secara keseluruhan, mengalokasikan dan mendistribusikannya ke dalam berbagai bagian dalam sistem (irigasi) tersebut. Alokasi oleh pemerintah juga meliputi pengaturan pemungutan pajak pengambilan air untuk kegiatan rumah tangga dan industri, serta mengalokasikan air untuk keperluan publik lainnya, seperti alokasi air untuk pembangkit tenaga listrik.

Negara atau wilayah yang menerapkan mekanisme ini dalam alokasi sumberdaya airnya umumnya memegang prinsip bahwa air sebagai sumberdaya alam sangat vital dan strategis, sehingga perlu dikuasai dan diatur pemanfaatannya oleh negara/pemerintah dan mencegah penguasaan air oleh pihak tertentu. Institusi pemerintah yang mengatur alokasi air memiliki kekuatan dalam mengalokasikan air antar sektor dan memiliki yurisdiksi kuat terhadap semua sektor pengguna air. Selain mengalokasikan air, institusi tersebut juga bertanggung-jawab melindungi air dan membuat aturan untuk mengalokasikan air secara adil untuk sektor-sektor pengguna air, seperti rumah tangga, pertanian, industri, pelestarian lingkungan dan sebagainya.
Mekanisme alokasi oleh pemerintah cenderung mengedepankan tujuan-tujuan keadilan, terutama menjamin suplai air ke daerah-daerah kurang air. Hal ini menguntungkan untuk melindungi masyarakat miskin, menyelamatkan lingkungan, dan menyediakan air sesuai dengan kebutuhan setiap sektor. Alokasi air (secara fisik) diantara pemakai tidak tergantung dari biaya (independent of charges) tetapi dapat didasarkan atas fakta sejarah, pembagian yang adil berdasarkan volume air tersedia, kebutuhan air individual, dan sistem politik yang berlaku. Model alokasi oleh pemerintah biasanya memiliki tujuan pengembangan air yang majemuk (multiobjective goals), misalnya di samping untuk memenuhi kebutuhan domestik rumah tangga, pengembangan air juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan air industri, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, dan sebagainya.

Kelemahan mekanisme alokasi oleh pemerintah adalah adanya inefisiensi alokasi sumberdaya air. Daerah yang membutuhkan biaya lebih tinggi dalam membangun infrastruktur airnya perlu disubsidi, sehingga mekanisme subsidi yang dilakukan mengurangi kinerja mekanisme pasar yang menekankan terjadinya transfer sumberdaya secara efisien. Harga air yang ditetapkan tidak mencerminkan biaya suplai air dan nilainya terhadap konsumen. Mekanisme ini akan sulit diterapkan untuk menetapkan kuota pembagian air yang dapat diperjualbelikan sebagaimana halnya dengan komoditas ekonomi lainnya. Akibat inefisiensi alokasi air, maka akan terjadi pemborosan air dan misalokasi air yang menghambat upaya pengelolaan sumberdaya air secara rasional dan ekonomis. Partisipasi publik dalam sistem mekanisme alokasi publik cenderung rendah sebagai konsekuensi terlalu dominannya pemerintah dalam mengatur alokasi air, bahkan kondisi yang lebih buruk akan terjadi apabila aparat pemerintah tidak memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai dalam pengelolaan dan alokasi air. Mekanisme alokasi oleh pemerintah kurang memberikan insentif bagi masyarakat untuk berpartisipasi melakukan kegiatan konservasi daerah tangkapan air, karena mereka menganggap tanggung-jawab perlindungan berada di tangan pemerintah saja. Selain masalah dominasi kewenangan, struktur fee dalam mekanisme alokasi oleh pemerintah juga kurang mencerminkan adanya insentif bagi pengguna air untuk menggunakan air secara efisien dan menghematnya.

Pasar Air (Water Market)
Mekanisme pasar air dalam mengalokasikan sumberdaya air pada prinsipnya adalah terjadinya pertukaran hak penggunaan air (water use rights) dalam jumlah tertentu diantara pengguna air yang berdekatan (neighboring-users), sehingga mekanisme ini sering disebut juga sebagai spot-water market. Kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya pasar air adalah (Dinar et al., 2001) :
a. Pasar harus memiliki penjual dan pembeli yang identik/jelas, masing-masing memiliki informasi lengkap mengenai aturan/institusi pasar yang akan dijalankannya, dan masing-masing pihak memiliki biaya untuk melakukan transaksi.
b. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh setiap pembeli atau penjual bebas dari keputusan yang dibuat oleh penjual atau pembeli lainnya.
c. Keputusan yang dibuat oleh seorang individu tidak mempengaruhi individu lainnya.
d. Individu-individu atau badan-badan ekonomi yang beroperasi dalam pasar kompetitif termotivasi untuk memaksimumkan keuntungan.
Di dalam kondisi-kondisi tersebut jumlah permintaan dan penawaran air akan ditentukan, termasuk unit harga air di dalam pasar tersebut. Secara umum sumberdaya akan ditransfer dari penggunaan yang bernilai rendah ke nilai tertinggi, dan secara ekonomi dianggap efisien. Namun untuk menciptakan kondisi pasar air tersebut, pemerintah perlu melakukan intervensi agar pasar dapat beroperasi melalui hal-hal berikut ini :
a. Mendefinisikan secara jelas hak-hak penggunaan air yang berlaku di masyarakat.
b. Membuat kerangka institusi dan hukum untuk perdagangan air.
c. Melakukan investasi untuk membangun infrastruktur dasar yang dapat menstimulasi berjalannya pasar air.

Mekanisme pasar air apabila dapat diterapkan dengan benar akan memungkinkan terjadinya insentif bagi masyarakat atau pengguna air untuk memanfaatkan air lebih efisien. Bagi penjual air ada peningkatan pendapatan dan mendorongnya untuk lebih memperhatikan kelestarian daerah tangkapan air, dan bagi pembeli air ada jaminan mengenai jumlah dan kualitas air sesuai dengan yang diinginkan berdasarkan kesepakatan transaksi antar penjual dan pembeli.
Pasar air memiliki beberapa keuntungan. Penjual berkesempatan untuk meningkatkan profitabilitasnya, dan pembeli mendapatkan jaminan dalam mendapatkan air yang sesuai dengan jumlah dan kualitas yang telah ditetapkannya. Dalam hal perdagangan air antara sektor pertanian dan perkotaan, maka lingkungan akan mendapatkan keuntungan yaitu peningkatan sistem pengelolaan air, pemanfaatan air makin efisien, menurunkan polusi air di saluran irigasi. Apabila terjadi pencemaran di saluran air yang ditransfer maka penjual harus memasukan biaya eksternalitas atau bahkan membayar lebih tinggi biaya sosial akibat polusi air tersebut.

Manfaat-manfaat lain dari pasar air adalah meningkatkan pemberdayaan pengguna air dalam merealokasi air yang ditransfernya menjadi lebih baik, adanya jaminan penggunaan air secara berkelanjutan terhadap pengguna air yang mendorong berkembangnya teknologi penyelamatan air, meningkatkan alternatif pendapatan daerah tanpa merusak ekosistem dan lingkungan hidup, meningkatkan insentif bagi pengguna air dalam mengkonservasi daerah tangkapan air, serta menjadi solusi dalam memformalkan hak-hak masyarakat atas sumberdaya air secara kuantitatif. Untuk mempraktekkan mekanisme pasar air sering menemukan kendala-kendala yang berhubungan dengan : pengukuran air secara kuantitatif memerlukan investasi besar, mendefinisikan hak-hak air apabila alirannya bervariasi, membuat aturan-aturan pasar air yang dapat disepakati bersama, investasi sistem saluran air (conveyance system), serta penghitungan biaya eksternalitas dan degradasi lingkungan yang mungkin terjadi.

Alokasi Berbasis Pengguna (User-Based Water Allocation)
Variasi alokasi air berbasis pengguna dapat didasarkan atas pembagian rotasi waktu, jumlah air, luas lahan, dan pembagian aliran air ke masing-masing pengguna. Alokasi air berbasis pengguna sering ditemukan pada sistem irigasi pertanian dan sistem pembagian air domestik menggunakan sumur bersama dan sistem pompa air.
Mekanisme alokasi ini memerlukan institusi aksi bersama yang memiliki otoritas dalam menetapkan hak-hak atas (pemakaian) air. Pengembangan institusi masyarakat ini menjadi masalah pertama dan sangat penting dalam membangun mekanisme alokasi air berbasis pengguna. Institusi masyarakat dalam mengalokasikan air berkembang dari tengah masyarakat lokal secara spontan, atau dapat juga dibentuk melalui katalis eksternal yang memfasilitasi terciptanya institusi pengelolaan air. Pengembangan sistem kepemilikan hak-hak penggunaan air di masyarakat menjadi pendorong perlunya dibentuk institusi dalam masyarakat yang mengatur dan mengalokasikan air. Dalam sistem masyarakat yang masih memiliki institusi sosial yang kuat, pengaturan alokasi air dapat menjamin penggunaan air yang efisien dan distribusi air yang berkeadilan, serta menjadi insentif bagi pengguna air dalam melindungi daerah resapan air secara kolektif.

Alokasi berbasis pengguna lebih fleksibel dalam mengatur aliran air untuk memenuhi kebutuhan lokal secara langsung. Hal ini disebabkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penggunaan air - pertanian, konsumsi rumah tangga, atau industri - memiliki informasi memadai tentang kondisi lokal masing-masing, sehingga alokasi air dapat dirumuskan tanpa melalui formulasi alokasi yang kaku. Semua pemakai air diorganisir dalam suatu organisasi pemakai air yang berfungsi menghitung kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Alokasi berbasis pengguna diputuskan melalui proses institusi diantara pengguna, sehingga secara operasional mekanisme alokasi air ini dapat layak secara administratif (administrative feasibility), berkelanjutan, dan dapat diterima secara politis oleh masyarakat (political acceptability).

Mekanisme alokasi berbasis pengguna air akan berjalan apabila di wilayah tersebut masih ada struktur institusional yang berjalan sangat transparan. Hal ini menjadi kendala dimana tidak setiap wilayah masih memiliki struktur institusi sosial yang transparan. Institusi masyarakat yang ada sering memiliki keterbatasan dalam mengalokasikan air antar sektor, karena tidak semua sektor masuk dalam organisasi pengguna air yang secara tradisional berkembang di atas norma dan institusi lokal. Kelompok masyarakat dan institusi lokalnya dapat mengalokasikan air untuk memenuhi kebutuhan domestik, irigasi pertanian, dan peternakan; namun untuk memenuhi kebutuhan air industri yang sering dianggap berada di luar komunitasnya sulit diterapkan. Oleh karena itu koordinasi dan kerjasama yang mengatur kebutuhan air domestik dan industri dapat dilakukan melalui organisasi pengguna air. Organisasi ini memiliki kewenangan menjalankan institusi pengelolaan dan alokasi air, dan menjadi forum negosiasi antar pemakai air yang akan melakukan transfer penggunaan air dari satu pemakai ke pemakai lainnya. Pada akhirnya penerapan alokasi air berbasis pengguna dapat berjalan apabila dilandasi oleh komitmen, aksi bersama, serta struktur dan fungsi institusi masyarakat yang kuat di dalam mengalokasikan air secara efisien dan merata (adil) diantara para pengguna air.
Tabel 1 menyajikan beberapa pertimbangan penggunaan dari setiap mekanisme alokasi air. Contoh aplikasi dari keempat mekanisme tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Pertimbangan Penggunaan Mekanisme Alokasi Air Minum
Mekanisme Alokasi Air Pertimbangan Penggunaan
Alokasi Air oleh Pemerintah
(Public-Based Water allocation) • Sistem pengelolaan air berskala besar
• Investasi sumberdaya air berkaitan dengan kepentingan-kepentingan strategis, misalnya peningkatan keamanan pangan, kesehatan publik.
• Pengendalian pencemaran aliran air yang memerlukan sistem pengaturan yang kuat.
• Perencanaan dan pelaksanaan mekanisme ini harus mempertimbangkan pengaruh politik dari stakeholders yang berkepentingan tentang alokasi air.

Alokasi Air Berbasis Pengguna
(User-Based Water Allocation) • Lebih fleksibel dari public allocation, tetapi diperlukan biaya transaksi tinggi untuk mengorganisir pengguna dalam membangun sistem alokasi air yang dapat disepakati bersama.
• Sering digunakan pada sistem pengelolaan air berskala kecil dan sistem tersier dari irigasi yang ada.
• Adanya keputusan yang kuat di tingkat lokal dalam mengalokasikan air.
• Memerlukan institusi sosial yang kuat dan adanya aksi kolektif masyarakat dalam mengalokasikan sumberdaya air. Hal ini berkaitan dengan norma lokal dan perjalanan sejarah kerjasama yang terjadi dalam komunitas masyarakat tersebut.
• Pengaruh-pengaruh kelompok dalam masyarakat sangat kuat menentukan bentuk alokasi yang akan diterapkan.

Pasar Air
(Water Market) • Dapat menjadi insentif pengguna air dalam mencari nilai tertinggi bagi sumberdaya air yang makin langka.
• Perlu kajian mendalam tentang hak-hak kepemilikan sumberdaya air dalam masyarakat yang dapat diidentifikasi dan dikuantifikasi secara jelas, serta hak tersebut dapat ditransferkan antar kelompok masyarakat.
• Perlu keterlibatan pemerintah dan masyarakat dalam membangun mekanisme pasar air.
• Proses pengembangan pasar air melalui proses : identifikasi, pengembangan, pengakuan hak-hak air, kuantifikasi hak air, monitoring dan pengawasan, serta mempersiapkan dukungan legal dan institusi formal.
• Hasil mekanisme pasar air dapat ditentukan oleh nilai ekonomi air untuk berbagai penggunaan.

Pendekatan Marginal Cost Pricing (MCP) • Komponen-komponen biaya dalam penyediaan dan suplai air dapat diidentifikasi dan dikuantifikasi secara jelas. Dalam hal ini perlu juga memasukan biaya eksternalitas yang menjadi biaya sosial akibat adanya alokasi sumberdaya air.
• Harga air sama dengan biaya marjinal pengadaan dan suplai air dari sumber air ke pemakai.
Sumber : Dinar et al. (2001).


Tabel 2. Beberapa Contoh Kasus Penerapan Mekanisme Alokasi Air

Mekanisme Alokasi Air Contoh Lokasi Penerapan Mekanisme Alokasi Air
Pendekatan MCP • Sistem irigasi air di Prancis yang menerapkan sistem binomial tariff untuk menghitung biaya pengadaan air pada saat aliran air off-peak dan on-peak. Diberlakukan sejak tahun 1970.
• Tarif konsumsi air bersih di Bogor, Indonesia. Penghapusan subsidi telah menaikan harga air minum dari US $0,15/m3 menjadi US $0,42/m3, sehingga menyebabkan penurunan permintaan air rumah tangga sebesar 30%.
• Penggunaan air untuk kebutuhan industri di Jepang dan Amerika Serikat. Pengalaman di kedua negara menunjukkan bahwa kenaikan harga air, effluent charges, dan pengetatan kebijakan lingkungan telah mendorong penghematan air industri yang dilakukan dengan peningkatan investasi dalam mendaur-ulang air dan teknologi konservasi air. Di Goa India, kenaikan tarif air menurunkan 50% penggunaan air di pabrik pupuk.

Alokasi oleh Pemerintah • Pengaturan air irigasi di Amerika Serikat sejak tahun 1800-an oleh Biro Reklamasi Amerika Serikat.
• Pengaturan aliran irigasi di Indonesia oleh pemerintah, dalam hal ini unit di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Juga pengaturan aliran air Sungai Citarum oleh Perum Jasa Tirta II di Jawa Barat untuk memasok air ke Jakarta.

Pasar Air • Pasar air telah berjalan beberapa abad di Spanyol.
• Variasi pasar air meliputi : surface water market, groundwater markets, water auctions, dan water banks.
• Beberapa tempat yang menerapkan pasar air :
1. Pasar air di Chili.
2. Drought Water (Market) Bank di California.
3. Groundwater market diGujarat India.
4. Water market di Lembah Cumbum, DAS Periyar-Vaigai, Tamil Nadu.
5. Transferable water entitlement di Australia.
Alokasi Berbasis Pengguna • Sistem irigasi Subak di Bali
• Tank irrigation di India dan Tamil Nadu
• Communal Irrigation System di Portugal.
Sumber : Dinar et al. (2001).

Setelah alokasi air lintas wilayah dapat ditentukan, alokasi dan harga air yang efisien ditentukan dengan pendekatan model ekonomi. Roumaset dan Smith (2001) mengemukakan model alokasi optimal dari air minum untuk daerah yang berbeda (Gambar 2). Satu daerah berada di hulu dan daerah lainnya berada di hilir. Jumlah air yang tersedia di wilayah tersebut digambarkan sebagai kurva S. Kurva D1 dan D2 masing-masing merupakan kurva permintaan air untuk wilayah 1 dan 2. Kurva DD adalah kurva permintaan air gabungan dari dua wilayah dan kurva S adalah kurva penawaran (inelastis) dari air yang ada. Harga air yang efisiens (P*) diperoleh dengan menginterseksikan kurva DD dengan total penawaran kurva S. Titik q1 dan q2 merupakan alokasi optimal untuk wilayah 1 dan 2.

Gambar 1. Alokasi Efisien Air Minum Lintas Wilayah (Roumaset dan Smith, 2001)

Dana Konservasi Sumber Air : Kasus Ekosistem Hutan

Jasa hidrologis hutan merupakan salah satu jasa lingkungan terpenting yang dihasilkan hutan. Aliran air yang keluar dari areal hutan digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, misalnya air minum, sanitasi lingkungan, pertanian, industri, ekosistem dan sebagainya. Johnson et al. (2001) menyatakan bahwa mayoritas penduduk dunia berada di hilir daerah aliran sungai (DAS) berhutan (downstream forested watershed), sehingga aliran air yang dimanfaatkan oleh masyarakat umumnya berasal dari hutan yang berada di DAS bagian hulu. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai, maka upaya konservasi ekosistem hutan harus dilakukan. Pada tingkatan global diperkirakan 13% dari luas lahan di dunia dibutuhkan untuk melindungi pasokan air (water supply) untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat (Johnson et al., 2001).
Konservasi ekosistem hutan dimana sumber air berada merupakan salah satu pilar penting dalam sistem pengelolaan air berkelanjutan. Acreman (2004) menyatakan bahwa sebuah pohon di hutan alam dapat memompa air + 2,5 juta galon air ke atmosfer sepanjang daur hidupnya, didaur-ulang dan tidak hilang dari hutan. Di kawasan hutan alam Amazone 50% dari curah hujan yang jatuh berasal dari evaporasi lokal, tetapi apabila disimulasikan bahwa hutan tersebut diubah menjadi padang penggembalaan (pasture land) dengan penutupan lahan terbuka maka diperkirakan curah hujan direduksi hampir 26% setiap tahunnya. Lebih lanjut Acreman (2004) mencontohkan akibat pengurangan vegetasi alami di Sahel Afrika menyebabkan curah hujan berkurang hampir 22% antara bulan Juni dan Agustus serta musim hujan tertunda hampir setengah bulan. Dalam hal ini ekosistem hutan (alam) berperan penting untuk mengatur sistem hidrologis wilayah, terutama dalam membangkitkan terjadinya hujan.
Pengguna air banyak yang tidak menyadari nilai hidrologis hutan yang selama ini menyangga kehidupannya. Ekosistem hutan berperan penting dalam menjaga aliran air yang mantap dan kualitas air. Hutan berperan dalam memperlambat laju aliran permukaan di suatu DAS, mengurangi erosi tanah dan sedimentasi, meningkatkan resapan air yang masuk ke dalam tanah, menjaga produktifitas akuatik di badan sungai, dan mempengaruhi presipitasi dalam skala regional (Johnson et al., 2001; Verweij, 2002). Jasa hidrologis hutan tersebut akan terancam seiring dengan meningkatnya laju degradasi hutan yang mengganggu keseimbangan proses ekologis hutan . Fluktuasi debit yang tinggi antara musim hujan dan musim kemarau yang masing-masing berupa banjir dan kekeringan, serta tingginya erosi dan sedimentasi adalah beberapa dampak negatif degradasi hutan terhadap karakteristik hidrologis DAS. Dampak negatif tersebut juga memicu konflik diantara pengguna air, misalnya pada musim kemarau terjadi pertikaian antar petani di berbagai wilayah dalam memperebutkan aliran air yang masuk ke areal pertaniannya. Upaya konservasi ekosistem hutan dalam fungsinya sebagai resapan air merupakan lingkup kegiatan penting dalam pengelolaan air berkelanjutan dan menjadi tanggung-jawab semua pengguna air di kawasan tersebut (Soenaryo et al., 2005).

Upaya konservasi hutan sebagai daerah resapan air memerlukan sejumlah dana yang digunakan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola kawasan tersebut agar berfungsi optimal dalam menyediakan jasa hidrologisnya. Biaya (fee) penggunaan air yang berasal dari kawasan sumber mata air umumnya belum memasukan biaya yang sebenarnya untuk melindungi dan mengelola kawasan tersebut, biaya kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pemanfaatan air, dan biaya oportunitas lainnya, sehingga menyebabkan nilai air di banyak negara under-value. Akibat dari under-value tersebut, maka air menjadi barang bebas (free good) sehingga dalam banyak kasus inefisiensi penggunaan air terjadi. Deteriorasi sumber air dengan makin meningkatnya kerusakan lahan dan kawasan sumber (mata) air telah meningkatkan kerentanan pasokan air bagi masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan ketidakcukupan dana untuk melindungi dan merehabilitasi air di kawasan resapannya. Dana untuk perlindungan, rehabilitasi, dan manajemen sumber air perlu dipertimbangkan, sehingga penetapan harga sumberdaya air harus dapat merefleksikan biaya pengambilan air dan biaya lingkungan yang timbul akibat penggunaan air. Biaya lingkungan dapat direfleksikan dengan biaya rehabilitasi untuk kawasan sumber air (Cruz et al., 2000).

Kegiatan konservasi kawasan sumber air minum yang menjamin keberlanjutan ketersediaan air minum masyarakat memerlukan biaya relatif lebih kecil daripada biaya investasi untuk membangun fasilitas pasokan dan pengolahan air yang baru. Sebagai contoh dengan investasi sebesar US $1 milyar dalam perlindungan dan konservasi tanah di New York diharapkan akan menghindari pengeluaran dana sebesar US $4-6 milyar untuk instalasi penyaringan dan pengolahan air. Untuk setiap investasi sebesar US $1 dalam perlindungan DAS di negara bagian Amerika Serikat lainnya (Portland, Oregon, Seatle, dan Washingthon) juga menghemat biaya untuk pembuatan fasilitas penyaringan dan pengolahan air antara US $7,5 sampai 200 (Johnson et al., 2001).

Sumber dana kegiatan konservasi umumnya masih mengandalkan dari pemerintah yang berasal dari berbagai sumber pendapatan misalnya dari pajak umum, dan tidak didasarkan atas nilai aktual jasa (hidrologis) yang disediakan oleh kawasan tersebut (Johnson et al., 2001; Verweij, 2002). Kelemahan pola pendanaan konservasi ini adalah apabila sistem pajak tidak efektif dan adanya krisis ekonomi menyebabkan terjadinya penurunan dana konservasi (Verweij, 2002).
Selain pola pendanaan konservasi yang bersumber dari pemerintah (public payment schemes) tersebut, di beberapa negara diterapkan pula pola pendanaan konservasi yang bersumber dari pengguna jasa lingkungan yang dihasilkan oleh ekosistem hutan.

Pendekatan pembayaran untuk jasa lingkungan (payment for environmental services, PES) merupakan bagian dari paradigma pendanaan konservasi secara langsung yang dilakukan oleh pengguna jasa lingkungan. Bolivia, Vietnam, Ekuador, Costa Rica, Mexico, Filipina, dan Cina adalah beberapa negara yang telah menginiasi pendekatan PES untuk membantu pendanaan konservasi ekosistem hutan di negaranya. Pendekatan PES umumnya digunakan untuk empat jasa lingkungan dari ekosistem hutan, yaitu fungsi hutan dalam menyerap karbon (carbon-sink), perlindungan jasa hidrologis, perlindungan keanekeragaman hayati (biodiversity), serta perlindungan estetika lanskap atau ekoturisme (Robertson and Wunder, 2005). Mekanisme PES merupakan mekanisme kompensasi yang fleksibel, langsung, yang dibayar oleh pengguna jasa lingkungan (environmental services users) terhadap penyedia jasa lingkungan (environmental services providers).

Beberapa keuntungan dari diterapkannya mekanisme PES dalam pengelolaan sumber air minum adalah sebagai berikut (FAO, 2004) :
(1) Meningkatkan sensitifitas dan apresiasi publik terhadap nilai air (minum) dan konservasi ekosistem sumber airnya;
(2) Memfasilitasi solusi konflik dan mendapatkan konsensus yang saling menguntungkan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber air minum bersama;
(3) Meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber air minum;
(4) Membangkitkan sumber dana baru bagi penyedia jasa lingkungan di bagian hulu yang umumnya merupakan kelompok masyarakat dengan kondisi perekonomian yang relatif lebih lemah daripada pengguna air minum di bagian hilir.

Tiga faktor utama yang perlu diidentifikasi dengan jelas apabila mekanisme PES akan diterapkan, yaitu adanya jasa lingkungan (environmental services) yang dapat diidentifikasi secara jelas dan dapat ditransferkan, adanya penyedia jasa lingkungan (environmental services providers), serta adanya pengguna jasa lingkungan (environmental services users). Penyedia jasa lingkungan mendapatkan biaya tambahan dari pengguna jasa lingkungan yang selama ini mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan tersebut. Dalam hal ini pengguna air minum yang umumnya berada di hilir DAS memberikan sejumlah dana kompensasi konservasi kepada masyarakat atau pemerintah (daerah) yang berada di bagian hulunya. Penyedia dan pengguna jasa hidrologis tidak hanya kelompok dunia usaha, tetapi juga kelompok masyarakat atau rumah tangga (Robertson and Wunder, 2005; FAO, 2004). Contoh diterapkannya mekanisme pendanaan ini adalah kasus perusahaan air minum kemasan di Perancis yaitu Perrier-Vittel mendanai petani untuk membangun fasilitas moderen dan mengubah pola tani konvensional menjadi pertanian organik untuk menghindari dampak negatif aliran hara dan ancaman pestisida yang dapat mengancam sumber air minumnya. Perusahaan-perusahaan pertanian besar di Lembah Cauca (Colombia) mendanai masyarakat di bagian hulunya untuk melakukan kegiatan penghutanan kembali, pengendalian erosi di lahan miring, perlindungan mata air, dan pembangunan masyarakat di bagian hulu untuk meningkatkan aliran dasar (base flows) dan mengurangi sedimentasi di saluran irigasi. Contoh yang hampir sama dengan di Colombia dilakukan pula oleh Grupo de Oro yang berusaha di bidang pengembangan jeruk di Costa Rica memberikan dana kompensasi sebesar US $5 per hektar untuk Guanancaste Conservation Area (GCA) yang selama ini menyediakan jasa air dan jasa ekologis polinasi serangga. Mekanisme pendanaan model PES ini tidak hanya dilakukan oleh badan usaha saja, tetapi juga diterapkan pada rumah tangga pengguna air. Pengguna air rumah tangga yang memanfaatkan air dari Kawasan Hutan Makiling, Los Banos Filipina bersedia memberikan tambahan biaya (additional payments) antara $0,03 - $0,04 per m3 air yang digunakannya untuk membiayai berbagai kegiatan perlindungan dan rehabilitasi kawasan sumber mata air di Makiling (Johnson et al., 2001; Cruz et al., 2000). Wilayah yang menerapkan mekanisme dana kompensasi konservasi umumnya memiliki apresiasi yang tinggi terhadap nilai jasa hidrologis hutan (Powel et al., 2002).

Studi Kasus : Pembayaran Jasa Lingkungan Hidrologis
di Kawasan Gunung Ciremai

Dalam bagian ini akan dikemukakan contoh penerapan jasa lingkungan ekosistem hutan, khususnya jasa lingkungan hidrologis hutan, yang mengacu pada hasil penelitian Ramdan (2006) tentang pengelolaan sumber air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. Gagasan mengenai PES merupakan salah satu gagasan terpenting. Dalam beberapa tahun terakhir PES telah mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagai upaya untuk membiayai konservasi, terutama di Amerika Latin.

Program-program PES pada umumnya dilakukan untuk mengaitkan manfaat jasa lingkungan (environmental services), penyedia jasa lingkungan (environmental services providers) tersebut dengan pengguna jasa lingkungan (environmental services users) yang memberikan sejumlah insentif bagi penyedia jasa lingkungan untuk senantiasa melaksanakan konservasi atas jasa lingkungan yang disediakannya

Setelah enam tahun pelaksanaan otonomi daerah masih menyisakan sederet tantangan, diantaranya mengenai kerjasama antardaerah, terutama wilayah yang mempunyai keterkaitan ekologis. Walaupun UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah menekankan pentingnya kerjasama antar daerah (Bab IX), masih belum banyak daerah yang menerapkan hal tersebut. Kerjasama antar daerah tersebut juga semakin sulit ketika hubungan tersebut terkait dengan kondisi alam, misalnya antara kawasan hulu dan hilir pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Sudah umum terjadi bahwa daerah hilir enggan memberikan imbal balik atas jasa lingkungan yang telah diberikan oleh daerah hulu. Akan tetapi, terdapat perkembangan yang menggembirakan dalam tiga tahun terakhir, ketika daerah-daerah mulai menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan konservasi sumberdaya alam. Beberapa kabupaten telah mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi, yang konsepnya antara lain menjaga keseimbangan antara proses pembangunan dengan konservasi hutan, yang antara lain menerapkan konsep PES pada skala besar, yang mencakup kabupaten tetangga sampai dunia internasional.

Salah satu kasus yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran adalah kasus yang melibatkan hubungan bilateral antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Kawasan Gunung Ciremai, yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kuningan, adalah salah satu kawasan pegunungan dengan potensi sumber mata air yang cukup besar dan dimanfaatkan oleh penduduk untuk berbagai kebutuhan, baik oleh penduduk di sekitar kawasan maupun oleh penduduk lainnya di sepanjang aliran air tersebut. Sumber air minum yang dimaksud adalah wilayah dimana mata air untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat berada. Aliran air yang berasal dari mata airnya dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan dan sebagian lagi dimanfaatkan oleh daerah-daerah di hilirnya, antara lain Kota Cirebon.

Hubungan antara keduanya menjadi penting karena adanya saling ketergantungan antara kedua daerah dalam menyediakan air minum bagi penduduknya, serta menjamin ketersediaannya dalam jangka panjang. Penerapan skema PES mengandung dua komponen penting, yaitu adanya proses terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak terkait mengenai kesediaan salah satu pihak untuk memberikan pembayaran atas jasa lingkungan yang disediakan oleh pihak lain, serta bentuk dari skema PES itu sendiri.

Proses tercapainya kesepakatan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon
Proses menuju kesepakatan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon dalam memanfaatkan sumber air minum lintas wilayah merupakan proses yang cukup panjang, mulai dari tahun 1999 sampai akhir tahun 2004. Pada tahun 1999 Pemerintah Kabupaten Kuningan bersama LSM RISSAPEL Kabupaten Kuningan melakukan studi tentang potensi sumber mata air di kawasan Gunung Ciremai yang hasilnya digunakan untuk menetapkan zona resapan air kawasan tersebut.

Studi tersebut pada awalnya ditujukan untuk memutakhirkan hasil kajian konsultan IWACO dan Departemen Pekerjaan Umum tahun 1990, namun dalam prosesnya tim melihat bahwa potensi sumber mata air tersebut memiliki nilai strategis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah Kabupaten Kuningan dan di wilayah lain di sekitarnya, terutama memasok kebutuhan air minum masyarakat Kota Cirebon. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan melihat besarnya potensi sumber mata air dengan total debit keseluruhan mencapai + 8.000 liter/detik, tim selanjutnya mendelineasi zona resapan air di kawasan Gunung Ciremai. Pada saat itu Pemerintah Kabupaten Kuningan, DPRD Kabupaten Kuningan, dan masyarakat sepakat untuk mengkonservasi kawasan tersebut sebagai zona resapan air. Pada tahapan selanjutnya dilakukan proses legal untuk menindaklanjuti hasil studi zona resapan air kawasan tersebut dengan menyusun rancangan peraturan daerah (perda) tentang tata ruang Gunung Ciremai dan disahkan sebagai Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 32 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai.

Pada saat proses pembuatan perda tersebut belum ada rencana untuk menjadikannya sebagai jaminan komitmen pemanfaatan jasa lingkungan air antar daerah. Pada awal tahun 2004 sengketa tentang pemanfaatan air minum yang berasal dari Kabupaten Kuningan yang dimanfaatkan Kota Cirebon, terutama mata air Paniis, mengemuka secara terbuka. Kronologis proses implementasi PES air minum lintas wilayah di kawasan tersebut disajikan pada Tabel 3.
Mata air Paniis, salah satu mata air di kawasan Gunung Ciremai, berada pada ketinggian 375 m di atas permukaan laut. Air yang berasal dari mata air Paniis ini memasok air minum untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon. Pada saat ini air dialirkan melalui pipa berdiameter 700 mm dari sumur pengumpul ke instalasi pengolahan di Plangon yang berjarak sekitar 8,2 Km dari Paniis.

Debit air total mata air Paniis saat ini adalah 860 l/detik yang pada musim hujan dapat meningkat di atas 1.000 l/detik. Mata air Paniis merupakan sumber air minum andalan utama untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat Kota Cirebon. Alternatif sumber air minum lainnya yang berasal dari air tanah dalam di sekitar Kota Cirebon dari jumlah dan kualitasnya kurang memenuhi standar air minum bagi masyarakat (Wahyudin, 2000). Oleh karena itu sumber air minum dari mata air di kawasan Gunung Ciremai merupakan prioritas pertama untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di Kota Cirebon.
Tabel 3. Kronologis Proses Implementasi PES Air Minum Lintas di Kawasan Gunung Ciremai (Ramdan, 2006 b)

No Proses Implementasi PES 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
1 Identifikasi Potensi Sumber Air di Kawasan Gunung Ciremai (Studi)
2 Penetapan zona resapan air kawasan Gunung Ciremai (Studi)
3 Proses Legal Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana umum Tata Ruang Gunung Ciremai
4 Penetapan Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 32 Tahun 2002 tentang Rencana umum Tata Ruang Gunung Ciremai 28
Nop
2002
5 Negosiasi mata air Paniis Kuningan-Cirebon Konflik
6 Penandatangan Kesepakatan Pemanfaatan Mata Air Paniis 17 Des 2004
7 Implementasi Kesepakatan

Instalasi air minum Paniis dikelola oleh PDAM Kota Cirebon untuk melayani penduduk Kota Cirebon dan beberapa daerah wilayah Kabupaten Cirebon dengan 51.344 pelanggan air minum sampai bulan Maret tahun 2003. Kapasitas terpasang yang dimanfaatkan oleh PDAM Kota Cirebon adalah 860 l/detik, tetapi debit yang diijinkan oleh Pemda Kabupaten Kuningan adalah sebesar 750 l/detik berdasarkan Surat Ijin Pengambilan Air (SIPA) yang dikeluarkan oleh Kantor Sumberdaya Air dan Mineral Kabupaten Kuningan Nomor 616/039/SDAM/2003. Pengambilan air yang melebihi SIPA memicu konflik antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon yang terjadi pada pertengahan sampai akhir tahun 2004.

Peningkatan konsumsi air minum masyarakat di Kota Cirebon yang terus meningkat menjadi alasan bagi PDAM Kota Cirebon untuk mengambil air di atas tingkat yang diijinkan. Di sisi lain Pemda Kabupaten Kuningan pun merasa bahwa perhatian Pemda Kota Cirebon untuk memelihara kelestarian kawasan sumber air minumnya dianggap kurang, padahal tanpa upaya untuk melestarikan kawasan sumber air tersebut maka pasokan air minum dari wilayah Paniis akan terganggu kesinambungannya.

a Kota Cirebon untuk bekerjasama dalam memelihara kelestarian Gunung Ciremai sebagai kawasan resapan air dari sejumlah mata air yang selama ini digunakan oleh masyarakat Kota Cirebon. Upaya rehabilitasi dan konservasi kawasan Gunung Ciremai selama ini menjadi tugas dari Pemda Kabupaten Kuningan yang berada di bagian hulunya, sedangkan manfaat hidrologis dari kegiatan konservasi dirasakan juga oleh masyarakat yang ada di hilirnya, sehingga kelestariannya menjadi tanggung-jawab bersama dari semua pengguna air.

Upaya untuk membangun kesepahaman dalam pengelolaan sumber air minum lintas wilayah didukung pula oleh komitmen politik dan dukungan publik yang kuat. Komitmen politik diantara dua Pemda, yaitu Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, dalam menyelesaikan permasalahan sumber air minumnya tampaknya sangat kuat. Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon langsung terlibat memimpin rapat untuk mendiskusikan penyelesaian masalah air lintas wilayah. Komitmen kedua pimpinan daerah tersebut didukung oleh pihak DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) sebagai lembaga legislatif dari masing-masing daerah dan juga masyarakat di dua wilayah tersebut. Sebagai badan legislatif dan wakil rakyat, DPRD merasa berkepentingan untuk ikut mendorong penyelesaian masalah sumber air minum lintas wilayah tersebut. Oleh karena itu komitmen politik dan dukungan publik yang kuat ternyata mampu mendorong penyelesaian sengketa sumber air minum lintas wilayah tersebut secara damai dan saling menguntungkan.

Dalam beberapa pertemuan antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon untuk membahas penyelesaian konflik penggunaan air dari Paniis, isu utama yang menjadi pembahasan adalah kontribusi konservasi daerah resapan sumber mata air. Pertemuan antara kedua Pemda yang difasilitasi oleh Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Cirebon telah mendorong adanya kesepahaman antara kedua belah dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kesamaan visi untuk berbagi (shared vision) dalam mengalokasikan air minum di kawasan tersebut telah mendorong pemahaman dari pihak-pihak yang bersengketa akan pentingnya tanggung-jawab pengelolaan bersama sumber air tersebut. Visi untuk berbagi tersebut dibangun dengan mengintegrasikan pentingnya aspek kelestarian lingkungan dalam pengelolaan air berkelanjutan.

Untuk menjamin alokasi air lintas wilayah secara berkelanjutan, maka kerjasama antar daerah diatur dalam suatu peraturan kerjasama pemanfaatan air yang disepakati oleh kedua belah pihak. Peraturan pemanfaatan air dan kontribusi dana konservasi di kawasan Gunung Ciremai telah diatur oleh suatu nota kesepakatan (memorandum of understanding) antara Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon yang ditandatangani tanggal 17 Desember 2004, yaitu Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan Pemerintah Kota Cirebon tentang Pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan. Perjanjian kerjasama tersebut bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dan pelestarian sumber air serta untuk kesejahteraan masyarakat diantara kedua daerah tersebut. Perjanjian tersebut mengatur mengenai kewajiban pihak pemerintah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon.

Kewajiban Pemerintah Kabupaten Kuningan diantaranya adalah: (a) menjaga/melindungi sumber air mata air sehingga dapat menjamin kelancaran distribusi air; dan (b) menerima dan menggunakan dana konservasi dari pengguna air minum di Kota Cirebon untuk kepentingan konservasi yang dapat menjamin kelestarian sumber mata air, termasuk di dalamnya pemberdayaan masyarakat. Adapun kewajiban Pemerintah Kota Cirebon adalah : (a) memanfaatkan sumber mata air Paniis sesuai ijin yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan; dan (b) membantu kepentingan Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam hal perlindungan dan pelestarian daerah tangkapan air (catchment area) sumber mata air sesuai dengan kemampuannya. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa besarnya dana kompensasi konservasi dihitung dengan mempertimbangkan produksi air dari sumber air, tarif yang berlaku sebelum diolah bagi pelanggan di Kota Cirebon, dan tingkat kebocoran air. Kesepakatan besaran dana kompensasi untuk konservasi Gunung Ciremai dari Kota Cirebon berdasarkan rumusan tersebut adalah Rp.1,75 milyar untuk tahun 2005. Dana kompensasi konservasi ini secara khusus harus dialokasikan untuk mendanai kegiatan konservasi di zona resapan air Paniis sebagai sumber mata airnya. Perlu ditegaskan bahwa dana kompensasi konservasi tidak dibuat dalam kerangka tradable water yang memandang air sebagai komoditas ekonomi semata, tetapi dana tersebut dikembangkan sebagai bentuk kepedulian dan tanggung-jawab dari pengguna jasa lingkungan air di bagian hilir untuk berkontribusi membantu kegiatan konservasi di bagian hulunya. Hal tersebut dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap hak airnya, misalnya hak akses. Pada umumnya di kawasan tersebut masyarakat memandang bahwa air dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan hukum Islam yang banyak dianut di daerah tersebut. Pandangan tersebut sesuai dengan pernyataan Sarwan et al. (2003) yang menjelaskan bahwa persepsi masyarakat atas hak-hak air di Indonesia dilatarbelakangi oleh pandangan hukum Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh penduduk Indonesia . Oleh karena itu pengembangan hak guna air, terutama hak guna usaha air, perlu memperhatikan pandangan masyarakat terhadap hak-hak airnya. Penerapan kebijakan pengelolaan sumber air yang tidak mempertimbangkan posisi hak-hak air masyarakat dapat menimbulkan konflik dalam pengembangan sistem air minum masyarakat.
Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 32 Tahun 2002 tentang RUTR Gunung Ciremai selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen wilayah hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun. Oleh karena itu RUTR Gunung Ciremai merupakan sertifikat dari komitmen Pemda dan masyarakat Kabupaten Kuningan untuk mempertahankan wilayah Gunung Ciremai sebagai resapan air yang memasok kebutuhan air minum bagi wilayah-wilayah di sekitarnya.

Pelaksanaan RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar daerah di era otonomi daerah ini. Bagi bidang perencanaan wilayah, proses pembuatan perda ini menjadi bukti bahwa dokumen RUTR tidak hanya bermanfaat dalam mengalokasikan ruang saja, namun berdampak ekonomi dalam meningkatkan pendapatan daerah hulu. Wilayah pengguna air di bagian hilir cenderung lebih merasa aman apabila wilayah hulu sebagai pemasok air mampu menunjukkan komitmen dalam menjaga kawasan resapan airnya, sehingga kesediaan wilayah hilir untuk membayar atas air yang digunakannya diperkirakan akan meningkat. Peningkatan apresiasi nilai ini dari wilayah hilir ini berkaitan dengan adanya komitmen yang jelas dari wilayah hulu sebagai pemasok air untuk melindungi wilayahnya sebagai resapan air.

Upaya-upaya penyelesaian konflik sumber air minum lintas di wilayah Gunung Ciremai tersebut didorong oleh suatu kemitraan yang luas (broad based partnerships) antara pemerintah, lembaga legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya. Kesepahaman untuk memberikan kontribusi dari hilir ke hulu diharapkan akan meningkatkan upaya kelestarian lingkungan sumber mata air, sehingga distribusi manfaat air diantara pihak-pihak yang berkepentingan dapat berjalan lebih adil. Selain ketiga faktor sebelumnya, partisipasi publik untuk membangun mekanisme alokasi air lintas wilayah yang lebih adil dan berkelanjutan perlu lebih didorong oleh masing-masing Pemda sehingga proses kerjasama antar daerah dapat diimplementasikan secara efektif.

Kandungan Perda Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai
Bagi Pemda Kabupaten Kuningan, Perda RUTR Gunung Ciremai disusun dengan pertimbangan antara lain bahwa Pemda Kuningan menyadari keberadaan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan zona resapan air, yang kesemuanya mempunyai nilai ekologis, ekonomi dan sosial, dan mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat Kabupaten Kuningan. Hal lain yang menjadi pertimbangan keluarnya Perda tersebut adalah bahwa semakin pesatnya pembangunan fisik disekitar kawasan Gunung Ciremai dikhawatirkan akan mempengaruhi fungsi utama Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan resapan air sehingga akan mengalami degradasi.

RUTR Gunung Ciremai dimaksudkan sebagai dasar petunjuk bagi aparat Pemda dan masyarakat dalam melakukan pengaturan ruang dan pengendalian pembangunan di kawasan Gunung Ciremai dan sekitarnya sesuai dengan fungsinya. Sementara RUTR Gunung Ciremai bertujuan untuk mengembangkan pola pemanfaatan ruang serta meningkatkan fungsi kawasan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan zona resapan air melalui upaya-upaya konservasi, observasi, penelitian, wisata alam dan kegiatan lain sejenisnya yang dipandang tidak akan mengurangi fungsi kawasan tersebut pada saat ini dan masa akan datang di dalam Pola Pembangunan Daerah berkelanjutan.

Perda tersebut menerangkan bahwa fungsi RUTR Gunung Ciremai adalah untuk memberikan bahan kebijakan pokok dalam pengelolaan Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung, konservasi alam dan zona resapan air sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah-wilayah yang dimiliki. Selain itu, Perda RUTR juga memberikan arahan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan Gunung Ciremai yang menjamin keterpaduan dan keseimbangan antara sistem ekologis dan hidrologis kawasan dengan sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang berkembang dinamis.

Wilayah perencanaan RUTR Gunung Ciremai mencakup 11 kecamatan dengan luas areal 38.856,61 Ha. Rencana pemanfaatan ruang Kawasan Gunung Ciremai, dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona penyangga, dan zona budidaya. Penggunaan lahan di zona inti terdiri atas hutan, perkebunan, kebun campuran dan tegalan. Penggunaan lahan di zona penyangga terdiri atas kebun campuran, tegalan, sawah dan sebagian keciI permukiman penduduk. Penggunaan lahan di zona budidaya secara umum merupakan tegalan, kebun campuran, sawah dan permukiman. RUTR Gunung Ciremai ditinjau dan dievaluasi kembali setiap lima tahun, guna mendapat bahan-bahan masukan sebagai bahan penyempurnaan selanjutnya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi maupun perkembangan yang akan terjadi dan yang akan datang.
Mengingat Perda tersebut telah digunakan sebagai sebuah sertifikat komitmen dalam kerjasama antar wilayah, apabila Perda tersebut direvisi maka penting untuk menyatakan secara eksplisit dalam batang tubuh maupun penjelasannya bahwa Perda tata ruang tersebut dapat digunakan sebagai sertifikat komitmen dalam kerjasama antarwilayah, misalnya dengan manambahkan satu bab khusus tentang hal ini.

Adanya klausa seperti itu akan memperkuat kedudukan Perda sebagai alat untuk ‘menjual’ sertifikat komitmen sebagai imbalan atas pembayaran yang diterima oleh Kabupaten Kuningan untuk melaksanakan konservasi hutan di kawasan tersebut.
Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah penjelasan bahwa mekanisme PES yang diterapkan seandainya dilaksanakan kerjasama antar wilayah akan tergantung atas hasil kesepakatan antar kedua belah pihak yang dituangkan dalam suatu nota kesepahaman yang berkekuatan hukum serta mengikat kedua belah pihak. Termasuk dalam bagian ini adalah penentuan klausa tentang pembayaran. Lebih jauh, mengingat yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan konservasi sumber air minum adalah masyarakat yang tinggal di sekitar mata air, Perda tersebut perlu menjelaskan bahwa penerimaan yang diperoleh melalui kerjasama antar wilayah yang terkait dengan konservasi sumber air minum baik sebagian atau seluruhnya akan diberikan kepada masyarakat, yang penggunaannya hanya semata-mata untuk kegiatan konservasi dan tidak untuk kegiatan lain. Jika klausul ini dibuat, implikasinya adalah perlu adanya pemantauan yang berkesinambungan atas penggunaan dana tersebut, baik oleh masyarakat maupun bagian dana yang dikelola oleh Pemda.

Kasus di atas menjadi contoh aktual dan menarik yang menjawab kekhawatiran bahwa pada masa otonomi daerah, setiap daerah akan cenderung mementingkan daerahnya sendiri. Hal tersebut akan sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik, terutama apabila terdapat sumberdaya yang bersifat mengalir lintas wilayah Keberhasilan Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon dalam mencapai resolusi atas konflik sumber air minum menunjukkan bahwa hal yang sama bisa saja dilakukan di tempat lain di Indonesia. Akan tetapi, terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar kesepakatan serupa bisa dilakukan di tempat lain. Secara skematis kerangka model implementasi pembayaran jasa lingkungan hidrologis yang bersifat lintas wilayah ditampilkan pada Gambar 1. Tahap awal dalam merencanakan implementasi pembayaran jasa lingkungan hidrologis adalah menganalisis potensi sumberdaya air yang tersedia (water supply side) yang meliputi kegiatan utama penentuan bioregion sumber air dan identifikasi potensi air untuk mendapatkan informasi tentang jumlah dan kualitas air. Di sisi permintaan air (water demand side) ditentukan kebutuhan air untuk masyarakat lokal dan kebutuhan air lintas wilayah. Analisis antara sisi penyediaan dan permintaan air digunakan untuk mengukur tingkat jaminan kontinuitas pasokan air di wilayah tersebut. Apabila kontinuitas air terjamin, maka proses negosiasi antar wilayah dalam penggunaan air dapat dilakukan. Pada saat proses negosiasi berjalan penyedia jasa lingkungan menunjukkan bentuk sertifikat komitmen untuk meyakinkan wilayah pengguna bahwa wilayah penyedia jasa lingkungan hidrologis secara serius menjamin wilayahnya tetap mampu memasok air.

Komitmen wilayah penyedia jasa lingkungan hidrologis ditunjukkan dengan adanya instrumen kebijakan yang secara khusus melindungi daerah resapan airnya, misalnya dalam bentuk peraturan daerah yang secara khusus berisikan kebijakan perlindungan wilayah resapan airnya. Ada dua permasalahan utama yang dibahas dalam kesepakatan hulu-hilir, yaitu dana kompensasi konservasi (DKK) yang akan diberikan oleh pengguna air kepada penyedia jasa hidrologis di bagian hulunya, serta mekanisme transfer DKK. Nilai DKK harus lebih besar atau sama dengan kebutuhan total biaya konservasi, sehingga kegiatan konservasi wilayah penyedia jasa hidrologis tetap berjalan karena didukung oleh adanya dana yang memadai. Alokasi DKK secara khusus digunakan untuk mendanai kegiatan konservasi wilayah resapan air, sehingga pemikiran DKK sebagai sumber PAD (pendapatan asli daerah) sebaiknya dihindari. Dalam hal ini DKK harus dilihat sebagai wujud rasa kepedulian finansial/ekonomi dari pengguna jasa hidrologis untuk sama-sama mengkonservasi wilayah sumber airnya.



Gambar 1. Model Implementasi Pembayaran Jasa Lingkungan Hidrologis Lintas Wilayah (Ramdan, 2006 b)

Pengelolaan air lintas wilayah akan efektif berjalan apabila didukung oleh adanya inisiatif (kebijakan) dari pemerintah daerah di bagian hulu tempat dimana sumber-sumber air berada. Peran penataan ruang dalam pengelolaan sumberdaya air adalah untuk : (a) menjamin ketersediaan air, baik kualitas maupun kuantitas untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang melalui pengelolaan kawasan konservasi dan pengendalian kualitas air, (b) koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah untuk mencapai komitmen bersama, dan (c) mencegah eksternalitas yang merugikan masyarakat secara luas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001). Di pihak lain, daerah hilir pun mempunyai kewajiban yang sama untuk senantiasa bekerjasama dengan daerah hulu dalam pengelolaan sumberdaya air, dengan peran yang jelas dan disepakati kedua belah pihak. Daerah hilir tidak dapat begitu saja melaksanakan free-riding atas manfaat yang telah disediakan oleh daerah hulu.
Visi untuk berbagi merupakan kunci pertama bagi terselenggaranya pengelolaan air minum lintas wilayah yang adil dan efisien, sebaliknya tanpa adanya visi untuk berbagi manfaat air diantara dua wilayah yang bersengketa, maka air yang lintas wilayah akan tetap menjadi sumber konflik berkepanjangan antar pihak yang bersengketa. Konflik air dapat pula memicu konflik lainnya yang lebih luas, dan bahkan dapat menciptakan perang sipil antar daerah yang bersengketa. Hal tersebut mungkin terjadi karena air merupakan sumberdaya alam yang keberadaanya vital dan tidak dapat disubstitusi oleh barang lainnya. Lebih lanjut Rahaman dan Vorris (2004) menyebutkan bahwa air adalah kehidupan dan air merupakan simbol umum dari kemanusian (humanity), pemerataan sosial (social equity), dan keadilan (justice).

Penutup

Kegiatan konservasi daerah resapan air membutuhkan sejumlah dana yang selain berasal dari pemerintah, juga dapat diperoleh dari pengguna jasa lingkungan (environmental services-users) sebagai bentuk tanggung-jawabnya untuk membantu mendanai kegiatan konservasi kawasan yang telah memberikan jasa lingkungannya. Dalam paper ini sebagaimana dibahas sebelumnya terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai sebagai rekomendasi umum untuk menata kebijakan pengelolaan air minum lintas wilayah khususnya di Indonesia. Dalam menata kebijakan pengelolaan air (minum) lintas wilayah ada beberapa tahapan kegiatan yang perlu ditempuh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya air tersebut, yaitu :
a. Melakukan inventarisasi ketersediaan dan kebutuhan air minum masyarakat dan menganalisis kemungkinan terjadinya konflik diantara penggunanya
Keterbatasan, kekurangan, dan kelangkaan air dapat memicu terjadinya konflik antar daerah. Inventarisasi ketersediaan dan kebutuhan air minum merupakan langkah pertama untuk mendeskripsikan potensi konflik antar daerah. Apabila kebutuhan air minum masyarakat melebihi ketersediaan air minum yang ada, maka potensi konflik antar daerah cenderung meningkat. Apabila kondisi tersebut terjadi maka daerah-daerah perlu segera melakukan langkah-langkah resolusi konflik melalui proses negosiasi.

b. Daerah yang memiliki sumber air minum melakukan inisiatif kebijakan untuk melindungi kawasan sumber airnya.
Potensi sumber air minum yang ada perlu dilindungi oleh daerah dimana sumber air tersebut berada. Upaya perlindungan sumber air dapat dilakukan dengan menetapkan kawasan sumber air minum termasuk daerah resapannya sebagai kawasan lindung. Kawasan sumber air minum tersebut dilindungi dengan perangkat peraturan perundangan, misalnya peraturan daerah (perda) yang secara khusus mengatur tata ruang kawasan tersebut. Perda tersebut selain mengatur alokasi ruang sesuai dengan fungsinya sebagai resapan air, juga menjadi bukti dari komitmen pemerintah dan masyarakat untuk melindungi sumber air yang ada di wilayahnya. Dalam proses negosiasi antar daerah, perda RUTR tersebut dijadikan sebagai sertifikat atau jaminan komitmen pemerintah daerah dan masyarakat di bagian hulu untuk menjamin pasokan air minum ke wilayah hilirnya, sehingga apresiasi pengguna air minum untuk memberikan dana kompensasi konservasi ke daerah hulu meningkat.

c. Melakukan proses negosiasi diantara daerah-daerah yang memanfaatkan sumber air minum yang sama.
Dalam proses negosiasi diantara daerah-daerah yang memanfaatkan sumber air minum yang lintas wilayah dilakukan pembahasan mengenai : (a) mekanisme alokasi air minum lintas wilayah yang sesuai; dan (b) menetapkan besaran nilai PES dari pengguna air minum terhadap daerah hulu yang memiliki sumber air minum. Kedua proses tersebut diajukan setelah terlebih dahulu dilakukan riset tentang prioritas model mekanisme alokasi air minum lintas wilayah dan besaran nilai kesediaan membayar pengguna air minum untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan sumber air minum. Nilai PES harus lebih besar atau sama dengan kebutuhan total biaya konservasi wilayah sumber airnya. Dengan disepakatinya mekanisme alokasi air minum lintas wilayah dan besaran nilai PES diantara daerah yang memanfaatkan sumber air minum, maka resolusi konflik pun tercapai. Selama proses negosiasi dilakukan, fasilitator selalu mendorong pihak-pihak yang bersengketa untuk tetap berpikir bahwa pembagian manfaat lebih berguna dari hanya pembagian air semata. Proses negosiasi yang berkaitan dengan PES dapat dilakukan apabila syarat-syarat utamanya terpenuhi dengan baik, yaitu :
(1) Adanya penyedia jasa lingkungan (environmental services provider) yang mampu mengelola dan menjamin kelestarian jasa lingkungan secara baik kepada pihak pengguna jasa lingkungan;
(2) Adanya pengguna jasa lingkungan (environmental srvices users) yang memiliki pemahaman dan apresiasi yang memadai terhadap nilai jasa lingkungan, sehingga motivasi untuk memberikan dana kompensasi konservasi akan berjalan dengan baik;
(3) Jasa lingkungan berupa jasa hidrologis mampu diidentifikasi dengan baik oleh penyedia jasa lingkungan, sehingga pengguna jasa lingkungan memiliki persepsi dan pemahaman yang sama tentang jasa lingkungan yang dapat disediakan oleh penyedia jasa lingkungan.
Selain ketiga syarat tersebut, beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya tranfer dana kompensasi konservasi di kawasan Gunung Ciremai adalah sebagai berikut :
a. Kedua pemerintah daerah memiliki kesamaan visi untuk memanfaatkan sumber air yang lintas wilayah secara adil dan menghindari terjadinya konflik yang lebih luas diantara pengguna air;
b. Kedua pemerintah daerah memiliki komitmen politik dan dukungan publik yang kuat dalam menciptakan sistem pembagian air yang efisien dan adil;
c. Kedua pemerintah daerah mendorong proses kemitraan yang kuat untuk melindungi dan melestarikan sumber air minum melalui kesepakatan kerjasama pemanfaatan air sumber air yang lintas wilayah;
d. Kedua pemerintah daerah melalui perjanjian kerjasama antar daerah menyepakati perlunya dana kompensasi konservasi yang harus diberikan oleh pengguna air di bagian hilir kepada penyedia air di bagian hulu dengan jumlah yang mencukupi untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan sumber airnya.

Masyarakat dan pemerintah daerah hulu yang memiliki sumber air perlu menetapkan kebijakan perlindungan kawasan sumber airnya yang memiliki kekuatan hukum formal. Perlindungan kawasan sumber air minum terkait langsung dengan kebijakan penataan ruang di kawasan tersebut. Dana kompensasi konservasi yang diberikan oleh pengguna air minum, agar difokuskan untuk mendukung kegiatan konservasi sumber resapan air di bagian hulunya.

Oleh : Dr. Hikmat Ramdan




Daftar Pustaka

Acreman, M. 2004. Water and Ecology. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations (UNESCO). Paris
Aylward, B. 2000. Economic Analysis of Landuse Change in Watershed Context. Paper for UNESCO Symposium/Workshop on Forest-Water-People in the Humid Tropics, Kuala Lumpur, Malaysia, July 31 - August 4, 2000.
Cruz, R.V.O. , L.A. Bugayong, P.C. Dolom, and N.O.Esperitu. 2000. Market-Based Instruments for Water Resource Conservation in Mt Makiling, Philippines : A Case Study. Paper for the 8th Biennal Conference of The International Association for the Study of Common Property, 31 May – 4 June 2000 at Bloomington, Indiana.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Air Melalui Pendekatan Penataan Ruang. Makalah Semiloka dan Pelatihan Penataan Ruang Universitas Islam Bandung. Bandung, 2-3 Mei 2003.
Dinar, A., M.W. Rosegart, and R.M. Dick. 2001. Water Allocation Mechanism Principles and Examples. Http: //www. Worldbank.org/rdv/training/dinar /allocatn.htm.[ 20 Dec 2001]
FAO. 2004. Payment for Environmental Services in Watershed. Food Agricultural Organization (FAO). Rome.
Frederick, K.D. 2001. Water as Source of International Conflict. Http : //www.rff.org/reources_articles/files/waterwar.htm. [28 -2- 2001].
Imai, K. and J.M. Weinstein. 2000. Measuring the Economic Impact of Civil War. Center for International Development at Harvard University. Harvard.
Johnson, N., A.White, and D.P. Maitre. 2001. Developing Markets for Water Services from Forests : Issues and Lessons for Innovators. Forest Trends. Washington, DC.
Nitibaskara, T.R.R. 2002. Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah. Penerbit Peradaban. Jakarta.
Powell, I., A.White, and N.L.Mills. 2002. Developing Markets for The Ecosystem Services of Forest. Forest Trends, Washington, DC.
Rahaman, M.M, and O. Voris. 2004. The Ethics of Water : Some Realities and Future Challenges. Working Paper of The Water Resources Laboratory, Helsinki University. Tietotie.
Ramdan, H. 2006a. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Ramdan, H. 2006b. Penerapan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidrologis dalam Pengelolaan Air Minum Luntas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Jawa Barat. Makalah Lokakarya Menemukan Model Pengelolaan Air Baku untuk Air Minum Lintas Wilayah di Nusa Tenggara Barat, Mataram 28-30 Nopembe 2006.
Robertson, N. and S. Wunder. 2005. Fresh Track in The Forest: Assessing Incipient Payment for Environmental Services Initiatives in Bolivia. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Roumasset, J. and R.Smith. 2001. Inter-District Water Allocation with Conjunctive Use. Water Resources Update (118): 68-73.
Sarwan, S., T.W. Subijanto, and C. Rogers. 2003. Development of Water Rights in Indonesia. Paper International Working Conference on Water Rights : Institutional Options for Improving Water Allocation. Hanoi, Vietnam, February 12-15, 2003.
Soenaryo, T.M, T. Walujo, dan A.Harnanto. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Air : Konsep dan Penerapannya. Bayumedia Publishing. Malang.
Spector, B. 2001. Transboundary Environmental Disputes.Http:// www.ccpdc.org/ ubs/zart/ch9.htm. [7 Nov 2001].
Verweij, P.2002. Innovative Financing Mechanisms for Conservation and Sustainable Management of Tropical Forest : Issues and Perspective. Paper for International Seminar on Forest Valuation and Innovative Financing Mechanisms for Consevation and Sustainable Management of Tropical Forests. Tropenbos International, The Hague, 20-21 March 2002.
Wolf, A.T. 1998. Conflict and Cooperation Along International Waterways. Water Policy (1) : 251-265.

U.S. EPA Research

CAMPUS GREEN